Jakarta (PARADE.ID)- Bapak Reformasi, Prof Amien Rais mengatakan bahwa dalam sistem otoriter, sang otokrat selalu mematikan checks and balances sebuah demokrasi. Lembaga legislatif dijadikan tukang stempel kemauan sang otokrat yang sudah jadi penguasa puncak eksekutif.
Sementara lembaga yudikatif tidak boleh merusak orkestra politik yang sudah dirancang oleh sang otokrat itu.
Untuk mencapai itu, kata Amien, penghalang atau penghancuran hukum secara sangat efektif dilakukan oleh para penegak hukum sendiri, sehingga obstruction of justice (menghalangi keadilan) menjadi lebih berbahaya lagi karena menjadi destraction of justice (penghancuran keadilan).
“Tipikal otoritarisme ini sepenuhnya dipraktikkan oleh rezim Jokowi. Tangan rezim otoriter sangat ringan untuk memangkas kekuatan masyarakat yang tidak sejalan dengan kemaun rezim, yang sesungguhnya immoral bahkan illegitimate,” kata dia, baru-baru ini, melalui postingan di Instagram miliknya.
Amien menyebut bahwa Indonesia di zaman Jokowi tidak sendirian di dalam membanting demokrasi sehingga berubah esensi. Beberapa negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika telah menunjukkan kemiripan dalam menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis pada awal mulanya. Tetapi, tidak terlalu lama kemudian berubah jadi otoriterisme, tak terkecuali Indonesia.
Berdasarkan contoh-contoh nyata yang ada nasib rezim otoriter di dunia, otoriterisme atau otoritarianisme dikatakan olehnya pasti ambruk.
“Makar politik sebuah rezim otoriter tidak ada artinya sama sekali berhadapan dengan makar Allah SWT. Hanya saja di Indonesia, saudara-saudaraku otoriterisme itu jauh lebih parah,” rasanya.
Tampilan Demokratis, Substansi Otoriter
Amien menyebut, dalam literatur politik, Jokowi lihai memainkan politik yang penampilannya demokratis. Tapi substansinya itu otoriter (democratic in form, authoritarian in substance).
Amien mencontohkan ketika kita menyaksikan pada kuartal pertama, yakni ketika Jokowi menjadi presiden, pada umumnya rakyat percaya akan ada berbagai perubahan signifikan bagi kehidupan rakyat Indonesia. Namun harapan itu cepat kandas.
“Mengapa? Karena politik pencitraan (image building) terus saja dilakukan oleh Jokowi sambil terus melancarkan janji-janji sosial, politik, ekonomi, dan hukum yang terdengar merdu di telinga kebanyakkan rakyat Indonesia,” kata mantan Ketum MPR RI itu.
Menurut Amien, tampak mantan Wali Kota Solo ini, yang dicitrakan oleh mesin politik para pendukungnya sebagai salah satu dari lima Wali Kota terbaik di muka bumi, lebih banyak berulah daripada berprestasi. Bahkan demokrasi yang dijalankan menjadi demokrasi illiberal, karena kebebasan berbicara, kebebasan berpendapa, dan berkumpul mulai dicurigai.
Namun, gaya populis Jokowi banyak mengecoh rakyat.
“Sehingga media darling dari Solo ini tetap saja populer, sekalipun hampir semua janji kampanyenya, maaf, tidak menjadi kenyataan,” katanya.
Kita, kata dia, menyaksikan bukan saja di Indonesia, juga di negara lain, seorang presiden atau pemimpin yang ingin menjadi seorang otokrat memerlukan pendukung-pendukung yang sudah mematikan akal sehatnya.
Hal itu disebabkan bahwa Jokowi disebut Amien terbuai dengan puja-puji pendukungnya. Para sycophants (penjilat) itu dapat meyakinkan mantan Wali Kota Solo yang “terbaik di dunia” itu bahwa dia memang benar-benar dicintai rakyat. Sampai batas yang sangat jauh, dia yakin sehingga berani menyatakan “aku adalah Pancasila”.
“Orang-orang yang berada di belakang keberhasilan Jokowi menjadi Presiden mampu membentuk citra Jokowi sebagai demokrat populis. Namun citra sebagai demokrat populis ini justru mulai membuat ‘kehebatannya’ pelan-pelan meredup,” katanya lagi.
Namun di Indonesia, dukungan itu menjadi ekstrim. Dukungan yang diekspresikan dengan “Pejah gesang ndherek, Bapak ini atau Ibu itu”. Slogan kosong, maknanya kosong. Ini khas Indonesia, kata dia.
“Saudara-saudaraku, kebetulan untuk menopang persangkaannya yang keliru itu, Jokowi menemukan sejumlah penjilat (sycophants) yang memang diperlukan, bilamana seorang pemimpin sedang membangun otoritarisme,” terang mantan Ketum PP Muhammadiyah itu.
Dari masa ke masa, lanjut dia, kita melihat penderita penyakit mental dan moral itu selalu muncul ke permukaan. Mereka datang dari kalangan jurnalis, intelektual kampus, birokrat, pebisnis, oknum-oknum petinggi militer dan kepolisian, sebagian ulama yang bingung atau pura-pura bingung, penggiat LSM, dan lain sebagainya. Malahan, kata Amien, ada sebuah kampus besar dan ternama yang sebagian besar dosennya seperti kena sihir kekuasaan enteng-entengan rezim Jokowi.
“Hanya karena diberi jabatan komisaris di sebuah bank atau staf ahli sebuah BUMN atau sebuah kementerian atau jabatan sepele di sebuah instansi atau apa pun dengan serta merta mereka mengalami kematian intelektual dan kehancuran integritas,” contohnya.
Kata Amien, hal ini mengingatkan cerita abadi tatkala Fir’aun mau mengadu kekuatan dengan Musa a.s., para petinggi sihir yang mengerumi Fir’aun bertanya: “Apa kiranya yang akan kami peroleh bila kami berhasil memenangkan baginda Fir’aun?” Jawab Fir’aun: “Pasti kalian akan mendapatkan posisi penting di sekitarku.” (Al-A’raf: 113-114)
Namun demikian, menurut dia, kita akan menyaksikan selalu ada manusia yang bermental ABS dan bermentalnya muntaber (munafik tapi berhasil), karena berhasil memburu keuntungan dunia yang diimpikannya.
“Sayang sekali, otoriterisme rezim Jokowi bukannya makin melemah sehingga demokrasi kita sudah terengah-engah, makin tak berdaya. Ororiterisme Jokowi makin kuat dan pekat. Sayang sekali,” tutupnya.
Ia berharap, mudah-mudahan watak sycophanty itu bukan watak asli bangsa Indonesia, tetapi sekedar watak artifisial, yang dangkal, sehingga tidak membuat bangsa Indonesia lantas menjadi bangsa yang kerdil.
(Robi/PARADE.ID)