Jakarta (parade.id)- Kemarin siang, Senin (26/11/2024), telah berlangsung seminar ilmiah bertajuk “Dapatkah Gibran Dimakzulkan dan Jokowi Diadili?” di salah satu hotel bilangan Jakarta Pusat. Seminar diadakan oleh ASA Indonesia yang berkolaborasi dengan Kopel Indonesia.
Hadir enam pembicara dalam seminar itu. Mereka adalah: KRMT Roy Suryo (pakar telematika), Muhammad Said Didu (ahli kebijakan publik), Bivitri Susanti (pakar hukum STIH Jentera), Deddy Yevri Hanteru Sitorus (politisi PDIP), Eros Djarot (budayawan), dan Feri Amsari (pakar hukum Universitas Andalas).
Acara dibuka dengan doa dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Doa dan lagu diikuti seluruh yang hadir. Moderator Lukas kemudian membuka seminar dengan menunjuk pembicara pertama yakni pakar telematika, KRMT Roy Suryo.
Dalam penyampaiannya, Roy lebih banyak membongkar posting-an akun “fufufafa” yang sampai saat ini terus dibicarakan publik. Salah satu yang dibongkar Roy adalah singgungannya kepada Prabowo Subianto yang kini menjadi Presiden RI. Pribadi dan keluarga Prabowo dibawa-bawa.
“‘Fufufafa’ ini lakunya sudah di luar nalar sehat. Misal menyinggung Prabowo yang jatuh dari gunung Semeru. Bagi saya, pemilik akun ini sudah sakit jiwa,” kata Roy.
Cukup memakan waktu untuk Roy memaparkan posting-an akun tersebut ke audiens seminar ilmiah yang hadir. Sampai-sampai Roy ditegur moderator Lukas agar mempersingkat paparannya.
Namun Roy mengatakan, paparannya ini adalah bagian dari bukti-bukti untuk kemudian bisa dipersoalkan. Roy kemudian mengaku sudah bisa menduga kuat, malah hampir 100 persen siapa di balik akun itu.
“Jadi supaya kita ini tidak dianggap omon-omon saja. Ada datanya. Banyak. Gampang menemukan siapa pemiliknya. Apalagi ‘servernya’ ada di sini,” kata dia di akhir pemaparan.
Roy tidak sendiri mendapatkan apa yang disebutnya sebagai data itu. Ia dibantu oleh banyak netizen atau warganet yang penasaran dengan akun “fufufafa”.
“Penemu ‘fufufafa’ adalah BIN. Badan Intelijen Netizen. Mereka dapat data. Kemudian dikumpulkan. Dijahitnya jadi satu lalu diinformasikan ke media sosial,” Roy menjelaskan.
Bivitri Susanti (pakar hukum STIH Jentera) mengatakan bahwa Prabowo Subianto sudah mengetahui soal akun tersebut. Ia ragu Prabowo tidak tahu soal kehadiran dan posting-an akun tersebut.
Bahkan mungkin juga Prabowo sudah tahu siapa di belakang akun itu. Prabowo yang memiliki jaringan banyak dan kuat adalah alasan Bivitri yakin Presiden RI sudah tahu tentang akun tersebut.
Hanya saja kata dia, Prabowo menunggu momen untuk menindaklanjutinya. “Pertanyaannya, mengapa belum ada tindakan apa pun dari Prabowo? Mungkin saja katena timeline-nya yang belum pas. Misal saja karena Pilkada 2024. Agar ada kestabilan politik sehingga dijaga betul untuk tetap rapih,” katanya.
“Malah dengar-dengar kasus Cak Munir ingin diungkap lagi tetapi menunggu momen tepat seperti 100 hari,” ia melanjutkan.
Hukum Pemilik Akun “Fufufafa”
Bivitri mengusulkan jika akun “fufufafa” ingin dipersoalkan atau dipolisikan maka dapat menggunakan pasal selain pasal pidana. Ia mengusulkan itu dengan pertimbangan—menyinggung bahwa pemilik akun tersebut adalah seorang pejabat—yang pengalamannya ke depan akan menemukan hambatan cukup berarti.
Bivitri mencontohkan kasus yang pernah dihadapi oleh Haris Azhar dan Fatia ketika menghadapi Luhut Binsar Pandjaitan yang seorang pejabat.
Ketika itu Haris, Fatia, dan Luhut sama-sama membuat laporan ke polisi. Namun kata Bivitri, hanya laporan Luhut yang diproses. Sedangkan laporan Haris dan Fatia tidak.
“Saya menyarankan ke pasal terkait presiden dan wakil presiden. Itu bisa kita perdebatkan. Pasal itu memuat tentang pemberhentian presiden dan wakil presiden oleh MPR atas usul DPR karena melakukan perbuatan tercela,” usulnya.
“Ketimbang pasal-pasal pidana—karena mereka itu pejabat negara. Kita bisa lihat dari kasus Haris dan Azhar,” imbuhnya.
Sebagai orang yang memahami hukum, Bivitri mendorong adanya tindak lanjut dari soal akun tersebut. Sebab kalau tidak, menurutnya, akan menjadi preseden buruk. “Maka jangan kita diamkan. Kalau kita tidak memulainya sekarang, ke depan boleh jadi negara ini dilihat tidak bisa dan atau mau dicek/dikontrol (sosial),” tekannya.
Menyangkut hukum, pakar hukum Universitas Andalas hampir memiliki pemikran sama dengan Bivitri. Yakni bisa menggunakan pasal di luar pasal umum, seperti perbuatan tercela presiden dan wakil presiden.
Namun menurut Feri, mesti ditegaskan di mana letak perbuatan tercela itu. Kalau tidak, di pembuktiannya tidak akan kuat.
“Sebab kalau ke ranah hukum itu harus ada pembuktiannya. Kalau sudah ada pembuktiannya, maka kita bisa bawa (putusan) bukti itu ke politisi kemudian dibawanya ke parlemen. Dari parlemen, tentu ada tindak lanjutnya. Akan seperti apa,” kata dia.
Hadir pembicara lainnya selain di atas seperti politisi PDI Perjuangan Deddy Yevri Hanteru Sitorus, ahli kebijakan publik Muhammad Said Didu, dan budayawan Eros Djarot.
Tampak hadir pula dalam seminar ilmiah tersebut: mantan Ketua KPK Abraham Samad, pakar hukum tata negara Refly Harun, wartawan senior Rahma Sarita, mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua, Petisi 100 Marwan Batubara, wartawan senior Edy Mulyadi, dan advokat Khozinudin.
(Rob/parade.id)