Jakarta (PARADE.ID)- Gara-gara dianggap gagal melindungi data tamunya, Marriott International Inc selaku operator jaringan hotel JW Marriot menghadapi gugatan class action dari jutaan tamu hotel yang menuntut kompensasi setelah data pribadi mereka diretas dalam salah satu peretasan data terbesar dalam sejarah.
Martin Bryant, pendiri konsultan teknologi dan media Big Revolution yang memimpin gugatan mewakili mereka yang berdomisili di Inggris, mengatakan gugatan itu untuk meningkatkan kesadaran pentingnya melindungi data pribadi pelanggan.
“Saya berharap kasus ini akan meningkatkan kesadaran akan nilai data pribadi kami, menghasilkan kompensasi yang adil dan juga memberikan pemberitahuan kepada pemilik data lain bahwa mereka harus menyimpan data kami secara bertanggung jawab,” katanya dalam sebuah pernyataan seperti dilansir dari Reuters, Rabu (19 Agustus 2020).
Peretasan data pelanggan Marriot yang tercatat sebagai salah satu yang terbesar terjadi pada kurun waktu 2014 hingga 2018. Lebih dari 300 juta data pelanggan yang disimpan di database JW Marriot terdampak, kemungkinan termasuk detail paspor dan kartu kredit.
Bryant diwakili oleh firma hukum Hausfeld dan kasus ini didanai oleh Harbour Litigation.
Tahun lalu, Kantor Komisi Informasi Inggris (ICO) mengatakan setidaknya ada tujuh juta warga Inggris yang datanya termasuk yang diretas. ICO telah mengusulkan denda 99,2 juta poundsterling (US$ 133 juta) atas pelanggaran itu.
Marriott mengumumkan pada 2018 bahwa peretas telah mengakses database reservasi hotel Starwood (yang diakuisisi Marriot) dan memberi tahu FBI.
“Kami tidak mendapatkan apa yang layak didapatkan tamu kami,” kata Kepala Eksekutif Arne Sorenson saat itu.
(Cyberthreat/PARADE.ID)