Jakarta (PARADE.ID)- Harga minyak mentah dunia mencatat pelemahan di pekan ini, menghentikan laju kenaikan impresif sejak akhir April lalu. Adanya risiko penyebaran pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) gelombang kedua serta Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang sekali lagi memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global, membuat harga minyak mentah tertekan.
Berdasarkan data Refinitiv, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) melemah 3,17% di pekan ini ke US$ 38,49/barel, sementara jenis Brent minus 2,77% ke US$ 41,02/barel.
Kedua jenis minyak mentah tersebut merosot tajam pada pertengahan April lalu, minyak WTI bahkan sempat menyentuh harga minus US$ 40,32/barel pada 20 April lalu, dan Brent US$ 20,37/barel pada yang merupakan level terendah sejak Februari 2002.
Pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian global menuju jurang resesi membuat permintaan minyak mentak mentah menurun, di sisi lain produksi masih tetap. Alhasil terjadi oversupply yang membuat harga minyak ambrol.
Guna mengangkat harga minyak mentah, OPEC, Rusia dan beberapa negara lainnya, melakukan pemangkasan produksi sejak bulan Mei lalu sebesar 9,7 juta barel per hari, dan 10,7 juta barel per hari di bulan ini. Rekor pemangkasan produksi tersebut akan diperpanjang hingga bulan Juli mendatang. Alhasil harga minyak mentah pun melesat naik.
Tetapi, kini muncul risiko serangan virus corona gelombang kedua. mulai dari Asia, Eropa, hingga ke Amerika Serikat. Ibu kota China, Beijing, menjadi perhatian dalam beberapa pekan terakhir akibat peningkatan kasus Covid-19. Korea Selatan juga mengalami hal yang sama, tetapi sebelum semakin meluas berhasil diredam kembali.
Australia juga mengalami hal serupa, khususnya di negara bagian Victoria. Dampaknya Pemerintah Negara Bagian Victoria memperpanjang masa tanggap darurat sampai 19 Juli. Satu rumah tangga maksimal hanya boleh menampung lima orang dan pertemuan di luar ruangan dibatasi paling banyak 10 orang. Padahal sebelumnya pemerintah telah memberi kelonggaran dengan memperbolehkan 20 orang berkumpul di luar ruangan.
Beralih ke Eropa, Jerman kembali menerapkan kebijakan lockdown di wilayah Guetersloh dan Warendorf di Jerman barat. Lockdown akan dilakukan setidaknya hingga 30 Juni.
Yang paling menjadi sorotan adalah Amerika Serikat. Negeri Paman Sam sepanjang pekan ini beberapa kali melaporkan rekor penambahan kasus harian tertinggi.
Berdasarkan data Worldometers, pada Jumat (26/6/2020) kasus baru Covid-19 bertambah sebanyak 40.685 kasus, sehingga total kasus di Negeri Paman Sam nyaris 2,6 juta orang.
Akibatnya, negara bagian Texas dan Florida yang mencatat kasus terbanyak harus menghentikan pelonggaran lockdown.
Serangan Covid-19 gelombang kedua tersebut tentunya dapat memperburuk laju pemulihan ekonomi global saat ini, dan tentunya membuat outlook permintaan minyak mentah kembali suram.
Hal itu diperburuk dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi terbaru dari IMF yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery.
“Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang negatif pada paruh pertama 2020 daripada yang diperkirakan,” tulis lembaga itu, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2020).
Di negara dengan tingkat penularan Covid-19 dengan tren menurun, pemulihan ekonomi masih akan lambat karena aturan social distancing yang diberlakukan, dan akan berpengaruh hingga semester II-2020.
Sementara di negara yang masih berjuang menghadapi pandemi, lockdwon akan terjadi lebih lama, sehingga pemulihan ekonomi pun akan memerlukan waktu yang lebih lama.
Nyaris semua negara, dari negara maju hingga negara berkembang diramal akan mengalami kontraksi ekonomi. Secara umum, perekonomian negara maju akan minus 8%.Dalam rilis tersebut, IMF memprediksi perekonomian global di tahun ini akan berkontraksi atau minus 4,9% lebih dalam ketimbang proyeksi yang diberikan pada bulan April lalu minus 3%.
Amerika Serikat (AS), negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia diprediksi mengalami kontraksi 8%, kemudian ekonomi zona euro -10,2%. Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia diprediksi -5,8%.
Sementara itu, dari negara berkembang secara umum diramal minus 3%, tetapi perekonomian China diprediksi masih bisa tumbuh 1%.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan semakin dalam, maka outlook permintaan minyak mentah tentunya semakin suram. Minyak mentah pun tertekan.
(cnbcindonesia/PARADE.ID)