Jakarta (PARADE.ID)- Nilai tukar rupiah melemah di pekan ini, tidak hanya melawan dolar Amerika Serikat (AS) tetapi juga melawan mata uang utama Asia hingga Eropa. Artinya rupiah melemah melawan mata uang dunia sepanjang pekan ini.
Proyeksi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF) terkait pertumbuhan ekonomi global membuat sentimen pelaku pasar memburuk, yang menekan rupiah. Selain itu, hasil survei terbaru dari Reuters menunjukkan investor mulai “membuang” rupiah lagi.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah melemah 0,71% sepanjang pekan ini melawan dolar AS ke Rp 14.140/US$. Dengan demikian, rupiah belum menguat lagi dalam 3 pekan beruntun.
Melawan mata uang Eropa, kinerja rupiah lebih buruk, melemah lebih dari 1% melawan euro dan franc Swiss.
Sementara itu berhadapan dengan mata uang Asia, nasib rupiah juga tak lebih baik.
Berikut pergerakan mata uang dunia melawan rupiah sepanjang pekan ini.
Pelemahan rupiah, khususnya melawan dolar AS, sejalan dengan hasil survei 2 mingguan Reuters yang menunjukkan investor mulai “membuang” rupiah dengan mengurangi posisi beli (long) rupiah dalam 2 pekan terakhir.
Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah.
Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (25/6/2020) lalu menunjukkan angka -0,05, memburuk dari rilis dua pekan sebelumnya -0,69.
Angka -0,69 tersebut juga merupakan yang terendah sejak rilis survei 23 Januari lalu.
Ketika itu rupiah menjadi juara dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.
Rupiah bahkan disebut menjadi kesayangan pelaku pasar oleh analis dari Bank of Amerika Merryl Lycnh (BAML) saat itu.
“Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi ‘kesayangan’ pasar, dan ada banyak alasan untuk itu” kata Rohit Garg, analis BAML dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).
Kini dengan angka minus yang semakin menipis menjadi -0,05, berarti investor mulai melepas posisi long rupiah setelah terus meningkat dalam satu bulan terakhir. Sehingga tekanan terhadap rupiah kembali besar.
Meski survei tersebut menunjukkan posisi rupiah melawan dolar AS, tetapi tetap saja bisa menggambarkan sentimen pelaku pasar terhadap Mata Uang Garuda.
IMF dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
“Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang negatif pada paruh pertama 2020 daripada yang diperkirakan,” tulis lembaga itu, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2020).
Di negara dengan tingkat penularan Covid-19 dengan tren menurun, pemulihan ekonomi masih akan lambat karena aturan social distancing yang diberlakukan, dan akan berpengaruh hingga semester II-2020.
Sementara di negara yang masih berjuang menghadapi pandemi, lockdwon akan terjadi lebih lama, sehingga pemulihan ekonomi pun akan memerlukan waktu yang lebih lama.
Dalam rilis tersebut, IMF memprediksi perekonomian global di tahun ini akan berkontraksi atau minus 4,9% lebih dalam ketimbang proyeksi yang diberikan pada bulan April lalu minus 3%.
Nyaris semua negara, dari negara maju hingga negara berkembang diramal akan mengalami kontraksi ekonomi. Secara umum, perekonomian negara maju akan minus 8%.
Amerika Serikat (AS), negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia diprediksi mengalami kontraksi 8%, kemudian ekonomi zona euro -10,2%. Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia diprediksi -5,8%.
Sementara itu, dari negara berkembang secara umum diramal minus 3%, tetapi perekonomian China diprediksi masih bisa tumbuh 1%. Sementara itu perekonomian Indonesia juga diprediksi -0,3% di tahun ini.
Rilis terbaru dari IMF tersebut membuat sentimen pelaku pasar memburuk, sehingga akan lebih berhati-hati mengalirkan modalnya ke negara emerging market, rupiah pun apes.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan, karena masih mengalami defisit.
Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
(cnbcindonesia/PARADE.ID)