Jakarta (PARADE.ID)- Ketua PUK SP LEM SPSI AHM, Taufik Hidayanto bicara soal perkembangan atau isu perburuhan belakangan ini. Di antaranya soal upah di DKI Jakarta pasca kalahnya Pemprov dari APINDO, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)—Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2021, dan rencana aksi yang akan diselenggarakan pada tanggal 10 Agustus 2022.
Dari semua isu atau perkembangan di atas, redaksi parade.id berkesempatan mewawancarai langsung Taufik di kantor atau sekretariatnya di dalam perusahaan Astra Honda Motor (AHM) Sunter, Jakarta Utara, Rabu (20/7/2022).
Berikut soal pertama, yakni soal upah pasca kekalahan Pemprov oleh APINDO beberapa waktu lalu:
Bagaimana pandangan Anda soal itu?
Secara hukum, kita punya yurisprudensi bahwa keputusan upah minum itu tidak harus berdasar pada PP 36. Ini harus menjadi pegangan kita semua, bahwa hakim atau pengadilan meluruskan tentang langkah pengupahan yang diatur mutlak dengan PP 36 versinya pemerintah (yang ditetapkan oleh Kemnaker) dikembalikan kepada proses-proses yang sebelumnya berdasar pada UU 13 Tahun 2003. Bahwasanya itu menjadi kewenangan pemerintah daerah atas dasar, merujuk pada rekomendasi Dewan Pengupahan. Itu yang betul memang.
Bagaimana pandangan kritis Anda?
Harusnya seluruh buruh (kritis), terkait pandangan bahwa Gubernur harus menetapkan upah berdasarkan keputusan PTUN yang diambil oleh hakim, “harus mengikuti” rekomendasi dari Dewan Pengupahan, itunya harus didukung. Bahwasanya Pemerintah Daerah, mungkin hanya DKI—nantinya dalam memutuskan upah itu harus dari rekomendasi Dewan Pengupahan. Itu harus didukung.
Namun, jika bicara angkanya, memang angka yang diusulkan oleh teman-teman Dewan Pengupahan DKI kan Rp4.573.000 (sesuai yang ditetapkan oleh pengadilan/batas bawah kesejahteraan)—karena atas pertimbangan tertentu dan punya kewenangan untuk menetapkan boleh saja Gubernur menambahkan rekomendasi Dewan Pengupahan. Boleh, selama tidak mengurangi.
Bisa lebih dijelaskan?
Dewan Pengupahan kan memberikan rekomendasi satu angka, nah, kalau Gubernurnya memberika tambahan, boleh, karena Dewan Pengupahan dalam bekerja itu berdasar pada survei. Survei-survei pasar, sehingga itu angka yang valid.
Atas kebijaksanaan Gubernur untuk menambahkan angka, itu boleh, karena melebihkan kesejahteraan, kan. Kalau mengurangi angka dari Dewan Pengupahan tidak boleh.
Amar putusan dari PTUN itu meminta Gubernur menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI 2022 berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan. Itu kan ketetapannya. Tapi kalau Gubernur memberikan tambahan kesejahteraan lebih, harusnya boleh juga, atas dasar kewenangannya.
Itu yang harus kita, buruh, dalam hal ini “mendorong” untuk Gubernur banding tetapi ke depannya buruh harus setuju dengan apa yang diputuskan oleh hakim, bahwa dalam penetapan upah itu Kepala Daerah harus merujuk pada Dewan Pengupahan.
Apa banding hanya soal angka?
Persoalannya ini bukan tentang angka. Persoalan ini persoalan substansi bagaimana menetapkan upah minimum. Dengan lahirnya UU Cipta Kerja (Ciptaker) beserta turuannya, memaksa (penetapan) upah kita diputuskan melalui satu sistem, rumus, yang diputuskan satu kementerian di mana setiap satu tahun angka tertentu, yang tidak lagi melihat inflasi daerah, pertumbuhan ekonomi daerah, adalah satu problem, karena diputuskan sama rata. Itu satu.
Kedua, menciderai demokrasi kita. Ketiga, memandulkan atau mengamputasi kinerja Dewan Pengupahan. Untuk apa ada Dewan Pengupahan kalau angkanya sudah diputuskan? Tepatnya merujuk pada kinerja Dewan Pengupahan.
Di Dewan Pengupahan itu sudah terdiri dari tiga unsur. Pemerintah ada, pengusaha ada, dan buruh juga ada. Itu paling fear.
Apa ada dorongan ke Pemprov DKI?
Tentunya kita melalui mekanisme, karena kita di tingkat basis, di tingkat perusahaan, tentunya sebagaimana yang saya sampaikan pagi tadi di DPC, saya sampaikan kita harus mendorong pemerintah untuk banding. Sebab, Gubernur punya kewenangan untuk menetapkan, meskipun batas bawahnya kita setuju.
Batas bawahnya itu adalah angka yang ditetapkan oleh pengadilan. Itu boleh.
Benar, karena batas bawah kesejahteraan itu adalah yang sudah disurvei oleh Dewan Pengupahan.
Angka Rp4.573.000 itu yang harus diputuskan oleh Gubernur atas perintah pengadilan, itu menurut kami bisa diberikan tambahan oleh Gubernur. Jadi, pengadilan memutuskan angka Rp4.573.000 itu boleh-boleh saja. Tapi Gubernur bisa nantinya, meskipun keputusan kemarin sudah menentukan UMP itu Rp4.641.000 (yang digugat) tetapi menurut saya kalaupun tidak menetapkan angka baru, Gubernur harus menetapkan angka yang sama, atau tetap berpegang pada keputusan UMP yang sebelumnya, yang ditetapkan oleh Gubernur (Rp4.641.000).
Mengapa begitu?
Karena Gubernur punya hak memberikan tambahan kesejahteraan kepada rakyatnya. Dewan Pengupahan sudah menetapkan angkanya Rp4.573.000, itu yang diketuk pengadilan, yang harusnya UMP-nya sekian, sederhanya kan seperti itu, nah, Gubernur memberikan angka tambahan sekitar Rp68.000, itu kan boleh karena atas dasar kebijaksanaan Gubernur untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Kan boleh.
Berikut lanjutan wawancara (perkambangan/isu) soal Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)—Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2021:
Bagaimana Anda melihat PHI yang dikatakan memutuskan perkara atas dasar Omnibus Law?
PHI itu kan lahir sebelum Omnibus Law. Cuma persoalan-persoalan ini lahir, bisa jadi dipicu oleh Omnibus Law.
Tadi persoalan upah, yang bukan tentang angkanya, tapi tentang substansi bagaimana cara menetapkan upahnya. Kalau Omnibus Law ditetapkan dari pusat, tuh.
Satu angka, misalnya, berdasarkan hitungan atau rumusan-rumusan yang sudah ditetapkan satu angka. Itu yang ditolak oleh buruh.
Sedangkan buruh maunya tetapkan melalui mekanisme Dewan Pengupahan. Itu substansinya, bukan tentang angkanya. Sama dengan persoalan-persoalan lain, itu baru persoalan upah.
Maksudnya?
Dalam persoalan hubungan industrial, kan banyak sekali persoalan yang tidak hanya sekadar upah. Ada hubungan kerja itu sendiri. Ada tata tertib kedisiplinan, dan seterusnya. Pengadilan hubungan industrial di Indonesia, kalau berdasarkan UU-nya tentang PHI itu memang harus cepat, murah, dan seterusnya—tapi faktanya hari ini, menurut kami sendiri kurang —kalau bahasa buruhnya PHI adalah “kuburannya” kaum buruh, karena hampir dipastikan buruh biasanya kalah untuk beracara. Sebab keterbatasan kemampuan. Keterbatasan sumber daya, dan seterusnya.
Meskipun demikian itu satu alat negara yang menurut kami, satu alat negara yang—meskipun tadi, keberpihakan pengadilan, mungkin masih, dalam bicara buruh dan pengusaha, keputusan-keputusan PHI masih banyak memenangkan pengusaha. Tapi menurut kami dengan adanya PHI, itu adalah satu alat, satu tool kehadiran negara.
Positif kehadiran PHI?
Itu masih lebih baik. Ketimbang tidak ada sama sekali. Itu satu aspek perlindungan negara terhadap persoalan hubungan industrial—itu adalah adanya PHI, karena di sana masih, menurut kita masih bisa berdebat tentang keadilan.
Kejelasan SEMA ke PHI??
Menurut saya, kita ini harus berdebat dahulu mengenai Omnibus Law-nya. Apakah semua lembaga dan alat negara, dan semua infrastruktur negara itu sudah tegak lurus menggunakan itu apa belum? Sebab, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri kan menyatakan Omnibus Law masih inkonstitusional bersyarat.
Meskipun berikutnya, tentang UU PPP-nya sudah disahkan di tanggal 25 Mei, namun demikian masih ada gugatan. Gugatan terkait dengan UU PPP-nya. Sehingga satu hal menurut saya, siapa pun juga untuk menahan diri, bahwa tidak boleh memaksakan menggunakan Omnibus Law, karena sudah jelas dalam putusan MK, melarang siapa pun untuk membuat kebijakan strategis, termasuk itu dicontohkan oleh PTUN kemarin.
Bahwa ternyata upah itu tidak harus menggunakan PP turunan Omnibus Law oleh hakim. Masih dikembalikan pada UU yang lama. Bahwa harus menggunakan rekomendasi Dewan Pengupahan.
Rekomendasi Dewan Pengupahan diatur di UU Ketenagakerjaan yang lama. Itu yang benar. Sehingga, menurut saya apa pun hari ini, dari lembaga mana pun, kalau dia menggunakan anasir atau rujukan dari Omnibus Law maka patut dipertanyakan.
Anda mendukung SEMA itu dicabut?
Ya, mendukung. Mendukung untuk dicabut, seperti keinginan kawan-kawan buruh yang lain.
Terakhir, berikut soal rencana aksi di tanggal 10 Agustus 2022, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Umum KSPSI sekaligus Koordinator Aliansi Aksi Sejuta Buruh, Jumhur Hidayat beberapa waktu lalu:
Bagaimana Anda menanggapi rencana aksi nanti?
Kalau kita di basis, dan itu di tingkat nasional, namun secara prinsip, itu sambung menyambung, bergotong royong, bekerja sama-sama terkait penolakan Omnibus Law. Apa pun ceritanya Omnibus Law itu, satu cara, yang menurut kita di mana dalam PPP, berpuluh-puluh peraturan perundangan tetapi tiba-tiba diborong menjadi satu.
Perdebatan di MK dan perdebatan di tingkat aktivis, satu, dalam pembuatan perundang-undangan, kan harus dalam rangka pembangunan demokrasi—satu hal yang harus dipegang dari pembuatan perundang-undangan ialah harus transparan dan terbuka. Sehingga dia harus mendengarkan masukan, mendengarkan pertimbangkan para pihak, termasuk pihak pembuat UU harus siapa menjelaskan apabila orang/masyarakat yang terdampak dari substansi itu meminta penjelasan dan sebagainya.
Omnibus Law itu kan menurut kita pembuatannya tergesa-gesa. Partisipasi publiknya kurang, menurut kita.
Terus, objek atau masyarakat yang secara substansi ada keterkaitan dengan UU yang sedang disusun itu, partisipasinya kurang. Sehingga menurut kita siapa pun itu, apalagi menurut substansi, kalau secara filosofis kan UU itu dibuat untuk kesejahteraan dan lain sebagainya, tapi secara substansi fakta kita karena kita sudah merasakannya (di perusahaan), bahwa hadirnya Omnibus Law, hilangnya upah sektoral. Itu fakta. Nyata.
Mudahnya orang di-PHK, itu fakta. Sehingga siapa pun yang masih menyandang atau menyebut dirinya buruh, wajib bersama-sama berjuang menolaknya (Omnibus Law). Elemen mana pun yang menginisiasi menjadi leading sector menolak Omnibus Law, siapa pun wajib mendukung, termasuk kita. Kita mendukung.
Apa ada ramuan khusus dari rencana aksi nanti?
Gampang. Tapi saya tidak bisa mewakili Bang Jumhur. Tapi saya mewakili pekerja secara langsung, karena saya Ketua Serikat Pekerja di tingkat basis.
Gampang, kembali saja kepada UU 13 Tahun 2003. Sudah. Tak usah diotak-atik. Selesai persoalan. Silakan yang lain dibahas sesuai dengan sektornya masing-masing. Tapi terkait dengan kluster ketenagakerjaan, kembalikan pada UU 13 Tahun 2003. Itu yang terbaik menurut kita.
Contoh tadi penentuan upah. Itu dimusyawarahkan oleh tiga pihak. Ada pemerintah, ada pengusaha, ada buruh. Nah, itula kultur atau budaya kita, bagaimana kita bermusyawarah sebenarnya.
Maksudnya?
Maksudnya adalah UU 13 itu jauh lebih baik daripada Omnibus Law, khususnya kluster ketenagakerjaan. Kalau ditanya ramuan, ya, itu, tidak perlu repot-repot, kembalikan ke UU yang lama (UU 13/2003). Selesai sudah.
Pokoknya kluster ketenagakerjaan dikembalikan ke UU sebelumnya. Sudah selesai. Tidak perlu merumuskan hal baru. Tidak perlu harus studi akademik, survei, kajian, pakai UU yang lama, selesai persoalan.
Ada seruan aksi dari pusat?
Kita support, karena di tingkat nasional, di tingkat provinsi, itu kan bicara teori gerakan dan bicara tentang imbauan dan seruan. Tapi kalau bicara di tingkat unit atau di tingkat perusahaan, yang merasakan dampaknya kita.
Kalau ada yang di luar kita, yang tidak berdampak langsung mengajak ajak aksi dan sebagainya, kita harus lebih bersemangat.
Malah kalau perlu di tingkat PUK-PUK yang mengajak aksi, karena upah sektornya jelas hilang. Mudahnya PHK. Sulitnya mendapatkan job security. Keberlangsungan pekerjaan. Keamanan pekerjaan. Itu menjadi PR di tingkat perusahaan/basis. Ini kita yang kita berdampak langsung.
Kalau di nasional dan sebagainya itu kan politik. Tapi bicara fakta, ya, kita. Berdampak langsung terhadap isi dari Omnibus Law itu.
Dengan nama ‘Aliansi Sejuta Aksi Buruh’, apa Anda akan kirim massa banyak?
Kita, sampai dengan hari ini secara teknikal terus digodok—dan secara prinsip kita juga akan menyampaikan siapa pun yang memiliki hati hurani dan sebagainya, ya, kita imbau berjuang bagaimana menolak Omnibus Law, khusus ketenagakerjaan tadi.
Kebijakan perusahaan bagaimana soal mengirim massa?
Pastinya tidak semua (kirim karyawan/massa). Tidak boleh. Orang kerja, ya, kerja. Orang kerja tidak boleh demo. Tapi kita akan sampaikan, kembali ke hati nurani masing-masing. Toh demo kan tidak setiap hari juga. Dan ini tentang keberlangsungan pekerjaan kita sendiri dan keberlangsung untuk anak cucu kita.
Jadi kita belum tahu berapa banyak yang kita bawa. Tapi itu soal teknis. Hal yang mudah.
Ada komunikasi terkait aksi dengan pusat?
Kita sudah komunikasi. Diskusi-diskusi di tingkat aktivis pun sudah. Bocorannya kita tetap fight, melawan Omnibus Law, karena ini jelas fakta, dan dampaknya di tingkat perusahaan nyata. Upah sektoral tidak ada. Bagaimana PHK. Bagaimana kontrak berkelanjutan. Itu fakta yang ada di kita.
Soal banyak elemen/organisasi yang gabung, bagaimana?
Untuk elemen menurut saya sudah tidak mengidentifikasi. Tapi kalau bicara tentang Omnibus Law, itu yang menyatukan buruh. Tidak hanya federasi. Mau forum ataupun aliansi apa pun. Pasti menolak.
Kalau dicek yang ril, kecuali elemen yang tidak jelas, yang ril punya basis pasti menolak Omnibus Law. Maka siapa pun itu, pasti kita dukung. Mau 10 atau 15 elemen, itu kan hanya teknis saja. Tapi saya yakin seluruh elemen buruh tolak Omnibus Law.
Sejauh apa persiapannya (pematangan)?
Pematangan aksi, pasti ada. Tapi saat ini masih berkembang di tahap wacana. Wacana ini pematangan. Sosialisasi kepada teman-teman, karena sebenarnya sebelumnya itu kan rencana pada 26 Juli. Rencana awal. Tapi diundur. Isu sama.
Konsolidasi dan sosiliasi akan kita sampaikan. Sosiliasi ke bawah juga. Kita akan berjuang, walau nanti inkrah. Kita minta dikembalikan ke UU yang lama. Isunya hanya Omnibus Law saja.
Dalam wawancara, Ketua PUK SP LEM SPSI AHM, Taufik Hidayanto didamping sejumlah pengurus. Di antaranya Sekretaris, Bendahara dan Wakil, Wakil Bidang Organisasi, dan Wakil Bidang Pengupahan.
(Rob/PARADE.ID)