Jakarta (parade.id)- Di Hari Peduli Sampah Nasional (HSPN) 2023, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyoroti upaya mewujudkan nol sampah dan nol emisi atau Zero Waste dan Zero Emission–karena dinilai menghadapi tantangan serius.
“Berdasarkan laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) 2021, sektor limbah menyumbang emisi gas rumah kaca nasional sebesar 12 persen atau setara 126.797 Gg CO2e. Emisi tersebut lebih tinggi dari kontribusi emisi nasional sebelumnya sebesar 7 (tujuh) persen atau setara 120.333 Gg CO2e,” demikian siaran pers WALHI, Selasa (21/2/2023), kepada media.
Kontribusi emisi sektor limbah berasal dari subsektor limbah padat domestik, limbah cair domestik, dan limbah industri. Secara khusus dalam laporan IGRK, limbah domestik yang tak terkelola, limbah cair dan pembakaran sampah menjadi sub sektor yang menyumbang emisi terbesar.
“Timbulan sampah setiap tahun mengalami peningkatan cukup signifikan. Pada tahun 2021, timbulan sampah mencapai 68,5 juta ton dan pada tahun 2022 mencapai 70 juta ton atau naik 1,5 juta ton,” ungkap WALHI.
Peningkatan volume sampah jelas meningkatkan kerentanan kondisi TPA yang kelebihan kapasitas. Belum lagi melihat kondisi TPA di seluruh Indonesia yang 35,46 persen di antaranya masih menggunakan penimbunan terbuka (open dumping).
“Sementara sebagian TPA eksisting lain kondisinya juga memprihatinkan. Visi untuk tidak ada TPA baru setelah tahun 2030 terlihat kurang realistis dengan kondisi eksisting.”
Ketiadaan anggaran memadai dan komitmen politik dari pemerintah daerah, serta minimnya dukungan dari pemerintah pusat pun dinilai WALHI cukup menghambat upaya peningkatan standar TPA Sanitary Landfill. Anggaran pengelolaan sampah daerah dengan rerata 0,5 persen dari total APBD menurut WALHI harus ditingkatkan menjadi setidaknya 1 persen dan dialokasikan secara proporsional untuk penanganan dan pengurangan sampah.
WALHI pun pesimis visi “Zero Waste, Zero Emission” direalisasikan jika peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah berbasis rumah tangga tak dibarengi dengan peran serta korporasi dan pemerintah.
“Korporasi yang seharusnya dibebankan perluasan tanggung jawab produsen atas pencemaran lingkungan menjadi pihak yang selalu menghindari kewajiban. Bahkan regulasi seperti Permen LHK 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen diabaikan oleh sebagian besar produsen.”
Berdasarkan data terakhir, baru ada sekitar 40 korporasi yang menyusun peta jalan pengurangan sampah oleh produsen. Pada sisi lain, upaya lebih dari 100 pemerintah daerah untuk membatasi penggunaan plastik sekali pakai juga perlu mendapatkan dukungan pemerintah pusat agar dapat terimplementasi secara maksimal.
Selama ini ada celah kebijakan, khususnya mengenai penegakan hukum sehingga berbagai target nasional terkait penangan dan pengurangan sampah, termasuk pengurangan emisi sektor kurang berhasil.
Dalam momentum HPSN, pemerintah menurut WALHI harus menghentikan promosi solusi pengelolaan sampah seperti PSEL (Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik), RDF (Refuse Derived Fuel) untuk peruntukan pembakaran campuran batubara di pabrik semen dan PLTU. Sebab, solusi hilir seperti PSEL/PLTSa berpotensi membebani anggaran pemerintah untuk kebutuhan tipping fee seperti temuan kajian KPK, berisiko pada dampak kesehatan dari emisi seperti dioksin dan furan, serta kurang tepat disebut ramah lingkungan karena komposisi sampah yang dibakar mengandung plastik.
“Solusi pengelolaan sampah yang berfokus pada penanganan (hilir) harus digeser ke pengurangan (hulu). Berbagai solusi minim sampah (zero waste solution) yang sudah eksis seperti pengelolaan sampah berbasis sumber, kebijakan pembatasan plastik sekali pakai hingga peraturan pengurangan sampah oleh produsen harus diperkuat.”
Selain itu, peningkatan anggaran pengelolaan sampah untuk mendukung infrastruktur pengelolaan sampah ideal seperti TPS3R, rumah kompos hingga pusat daur ulang harus semakin banyak dan merata. “Sementara solusi-solusi yang berbiaya besar dan punya resiko tinggi pada pembiayaan, lingkungan, kesehatan dan emisi bukan jawaban visi ‘Zero Waste, Zero Emission’.”
WALHI pun menilai bahwa sangat mendesak untuk mendorong revisi Undang-Undang Pengelolaan Sampah dengan paradigma pengurangan sampah dan pengelolaan sampah ramah lingkungan yang melibatkan peran serta semua pihak.
“Penting juga memastikan urusan pengelolaan sampah sebagai layanan dasar yang didukung alokasi anggaran pemerintah yang memadai.”
HPSN lahir dari tragedi longsor di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Leuwigajah pada 21 Februari 2005. Tapi, dari berbagai peringatan dan seremoni HPSN yang digelar setiap tahun, dinilai WALHI belum mampu menjawab berbagai persoalan pengelolaan sampah di tingkat nasional dan daerah–mulai dari rendahnya tanggung jawab produsen, peningkatan timbulan sampah, minimnya anggaran, hingga solusi semu pengelolaan sampah.
(Rob/parade.id)