Jayapura (PARADE.ID)- Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Papua Barat, Yan Christian Warinussy menilai banyak pihak yang menumpangi isu Dialog Papua untuk membicarakan evaluasi Otonomi Khusus Papua. Ia meminta Pemerintah Indonesia berani membuka ruang dialog untuk menyelesaikan akar persoalan Papua secara menyeluruh.
Warinussy menyatakan gagasan Dialog Papua adalah wacana untuk membangun solusi mendasar atas akar persoalan di Papua. Gagasan Dialog Papua yang dikampanyekan Jaringan Damai Papua (JDP) adalah agenda yang jauh lebih besar dan mendasar ketimbang kebutuhan mengevaluasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
“Dialog diperjuangkan untuk membicarakan hal yang lebih luas, mengenai penyelesaian akar masalah Papua. [Akar masalah itu adalah] soal perbadaan pemahaman mengenai sejarah integrasi Papua serta soal penyelesaian dugaan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Warinussy kepada Jubi, saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Rabu (1/7/2020).
Terkait wacana evalusi Otsus Papua, Warinussy menegaskan evaluasi dan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua (UU Otsus Papua) harus mengikuti ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU Otsus Papua.
“Di dalam Pasal 77 disebutkan, perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua kepada DPR RI atau pemerintah. Dalam Pasal 78 dikatakan, pelaksanaan UU Otsus Papua dievaluasi setiap tahun, dan untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun ketiga sesudah UU Otsus Papua berlaku,” katanya.
Warinussy mengatakan, dari sisi hukum terkandung makna bahwa rakyat Papua berhak mendesak dilakukannya evaluasi terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut. “Ini penting agar merancang langkah perubahannya secara hukum dan demokrasi. Namun, evaluasi dalam rangka perubahan kebijakan negara dalam UU Otsus tidak boleh secara sempit diarahkan kepada rencana pelaksanaan Dialog Jakarta-Papua yang sudah lebih dari 10 tahun digagas dan dijalankan,” tegas Warinussy.
Menurutnya, sejak awal proses integrasi Papua ke dalam Indonesia pada 1963, rakyat Papua ingin diberi kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri. Persoalan itu terus mengemuka, hingga mencapai puncaknya pada bulan Februari 1999, ketika wakil-wakil rakyat Papua dalam Tim 100 bertemu Presiden BJ Habibie di Istana Negara.
Peristiwa itu disusul Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Papua tahun 1999 dan Kongres Papua II Mei-Juni 2000. “Ketiga momen itulah yang menjadi tonggak penting yang mempengaruhi Negara mengambil keputusan politik untuk mengeluarkan UU Otsus Papua yang disahkan pada tanggal 21 November 2001 di Jakarta,” kata Warinussy.
Warinussy mengatakan, sudah saatnya Presiden menyikapi serius masalah Papua yang kian mengemuka di forum internasional, dengan mengambil langkah politik untuk menyelenggarakan Dialog Jakarta-Papua. “Saya menawarkan Jaringan Damai Papua (JDP) sebagai salah satu wadah konsultasi dan fasilitasi bagi Presiden RI Joko Widodo dalam memulai persiapan penyelenggaraan Dialog Jakarta-Papua. Saya kira Presiden dapat menentukan lembaga lain di tingkat lokal Indoensia, maupun internasional, untuk menjadi lembaga konsultasi dan fasilitasi dialog,” katanya.
Secara terpisah aktivis pemuda Bayam Keroman mengatakan pemerintah Indonesia harus melakukan dialog bersama dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, dan Komite Nasional Papua Barat, dengan difasilitasi pihak ketiga. “Organisasi itu adalah representasi rakyat Papua. Organisasi itulah yang dipercaya masyarakat Papua. Kalau pemerintah tidak membuka diri, tidak akan pernah menyelesaikan persoalan Papua,” katanya.
(jubi/PARADE.ID)