Jakarta (PARADE.ID)- Baru satu hari ditinggal Prof Dr H Abdul Malik Fadjar, terasa ada ruang kosong di negeri ini. Demikian bagi kami di Muhammadiyah. Yakni tokoh yang sepenuh hidupnya dihabiskan menjadi guru di dunia pendidikan sekaligus role-model pendidik bangsa yang bersahaja. Di pikirannya hanya satu perhatian utama bagaimana terlibat aktif dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dengan karya nyata, bukan retorika kata.
Prof Malik Fadjar menghabiskan waktu mudanya menjadi guru di Sumbawa dengan segala suka-duka. Kala itu sosok yang lain Ahmad Syafii Maarif juga menjadi guru di Lombok, sama-sama di Nusa Tenggara Barat. Menjadi guru dalam makna sesungguhnya, sebagai pendidik dalam keadaan serba terbatas. Pengalaman bertumpuk-lumus inilah yang menjadi modal berharga dirinya sebagai pendidik di dunia perguruan tinggi dan mengantarkannya di kemudian hari menjadi Menteri Pendidikan Nasional, selain Menteri Agama, dan Menko Kesra di negeri ini. Dalam posisi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden pun yang dibidanginya ialah pendidikan.
Ketika menjadi Menteri itulah banyak terobosan yang dilakukan untuk perbaikan dunia pendidikan, baik pendidikan umum maupun agama. Prof Malik melakukan reformasi regulasi dan birokrasi, yang menjadikan lembaga pendidikan menjadi lebih mudah bertumbuh-kembang. Lulusan pondok pesantren dipermudah penyetaraannya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Pengiriman anak-anak Indonesia untuk melanjutkan studi ke luar negeri digencarkan. Pendek kata dia lakukan gebrakan menerobos sangkar besi birokrasi yang selama itu menjadi hantu kemajuan pendidikan Indonesia. Kyai tanpa gelar akademik pun diizinkan memimpin perguruan tinggi. Sebuah kebijakan yang nekad dan sedikit “gila”.
Di Muhammadiyah tidak terbilang jejak emasnya membangun pendidikan yang unggul. Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) salah satu bukti nyata. Di eranya UMM menjadi satu-satunya kampus swasta milik umat Islam yang unggul dan membanggakan, menerobos hegemoni Perguruan Tinggi Negeri. Setelah purna, perhatiannya tidak pernah luruh untuk memajukan pendidikan. Sering mengajak penulis pergi ke daerah terjauh seperti untuk membenahi lembaga pendidikan yang tertinggal.
Kini sosok pendidik itu telah pergi untuk selamanya. Dipanggil Allah hari Senin 7 September 2020 pukul 19.00 wib. Di usia senja jiwa pendidiknya tetap kuat dalam menyikapi kondisi bangsa. Meski sering memberi catatan kritis tentang kehidupan kebangsaan yang dianggapnya bermasalah, Pak Malik selalu menunjukkan sikap elegan yang positif dan konstruktif. Sikap kritisnya tidak pernah bersifat personal dan apriori, selalu menawarkan solusi dan opsi. Dia tidak suka provokasi. “Ingat lho, ini urusan bangsa yang besar, jangan berjalan di lorong sempit”, berkali-kali beliau berpesan. Mungkin generasi muda milenial belum banyak yang tahu, kediaman Prof Malik Fadjar itu menjadi salah satu markas para tokoh reformasi yang membuat Presiden Soeharto berhenti dari jabatannya setelah berkuasa 32 tahun.
*Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir