Jakarta (parade.id)- Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Sulawesi Tenggara-Jakarta (Ketum Hima Sultra-Jakarta) Eghy Seftiawan menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) tebang pilih terkait proses penyidikan kasus tindak pidana korupsi dan kasus penjualan ore nikel di lahan konsesi PT Antam, Blok Mandiodo, Molawe, Konawe Utara yang kini terus berlanjut.
“Kejaksaan Agung memiliki tanggung jawab dan andil besar untuk menegakkan hukum dan memberantas Korupsi di negeri ini. Rakyat mengharapkan transparansi dan kejujuran dalam penegakan hukum dan semua kasus diusut tuntas tanpa pilih kasih,” Eghy mengingatkan, dalam keterangannya kepada media, kemarin.
Skandal pertambangan nikel kata Eghy berawal dari kerja sama PT Antam Tbk dengan Perusahaan Daerah Sultra dengan membentuk Kerja sama Operasi Mandiodo, Tapunggaeya, Tapuemea atau KSO MTT, di mana dalam melaksanakan KSO ini, PT Lawu menggandeng 38 perusahaan tambang untuk mengelola kegiatan tambang nikel di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Antam UPBN Konawe utara.
Namun kata dia, dalam perjalanannya Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara mulai mengendus dugaan praktik produksi dan penjualan ore nikel dengan cara melawan hukum/ilegal. Ditambah lagi penambangan tanpa membayar dana reklamasi pasca tambang, padahal perusahaan-perusahan tersebut telah mengeruk nikel sejak tahun 2020 silam, kata dia.
“Beberapa waktu lalu Raimel Jesaja mantan Kepala kejaksaan Sultra tahun 2022 ikut disebut. Raimel Jesaja adalah jaksa muda Kejagung yang sebelum pencopotannya menjabat sebagai Direktur Ekonomi dan Keuangan Jamintel Kejagung. Raimel dijatuhi sanksi etik berupa pemecatan sebagai jaksa,” kata dia.
“Lantaran Raimel diduga ketahuan memeras perusahaan-perusahaan tambang saat masih berstatus sebagai Kepala kejaksaan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabarnya Raimel telah mengembalikan uang belasan miliar kepada kejaksaan,” sambungnya.
Eghy mengutip Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang mengatakan, “Raimel terbukti melakukan pelanggaran berat dalam pemeriksaan yang dilakukan Jaksa Agung Muda Pengawasan.”
“Raimel diduga meminta uang dari sejumlah Perusahaan pelaku penambangan yang beroperasi di lahan konsesi PT Antam UPBN Konawe Utara (Konut),” katanya.
Menurut dia, Raimel Jesaja seolah melengkapi anggapan tentang runtuhnya marwah penegakan hukum di Indonesia. Sanksi etik dan administratif yang diberikan terhadap Raimel Jesaja diharapkannya tak hanya berhenti disitu.
“Ini adalah pintu masuk untuk menelusuri unsur pidananya. Sebab, apabila tidak. hal tersebut tak akan memberikan efek apa-apa dalam upaya memberantas kejahatan/korupsi di negeri ini,” kata dia.
Mengingat Kejahatan dalam dunia birokrasi adalah tindak kejahatan terstruktur dan saling terkait satu dengan yang lain, tidak mungkin dilakukan secara perorangan, maka menurut Eghy sangat mungkin banyak yang terlibat di dalamnya.
“Apabila indikasinya adalah tidak pidana suap, tentu oknum atau perusahaan pemberi suap juga harus dibongkar sebab jika investor pemberi suap, oknum pemerintah dan aparat penegak hukum tetap membuka diri menerima suap maka akan terjadi grand corruption. Korupsi regulasi dan kebijakan,” kata dia.
Jika temuannya adalah pemerasan, gratifikasi atau korupsi, kata dia tentunya ada mekanisme pelimpahan ke penegak hukum yang menanti. Kejagung diminta harus berani membuka kepada publik.
“Apabila Raimel terbukti melakukan tindak pidana, maka harus diproses dan diberikan hukuman yang setimpal. Tak ada ruang atau perlakuan khusus bagi jaksa untuk menyelewengkan jabatan,” katanya.
“Supremasi hukum harus tetap ditegakkan bila perlu limpahkan kasus tersebut ke KPK atau Bareskrim Polri. Raimel harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara eksternal kepada publik sesuai kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat tentang keadilan dan kebenaran,” ia melanjutkan.
Apabila sudah terbukti melakukan pemerasan, Raimel Jesaja kata dia dapat dijerat melanggar Pasal 12 e UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, dugaan pemerasan tersebut dapat diusut oleh pihak KPK.
“Raimel Jesaja adalah potret Aparat Penegak Hukum yang telah mewarisi sebuah problematika dalam konteks pembangunan di masa kepemimpinan yang akan datang, yakni hilangnya indikator kepercayaan masyarakat terhadap Aparat Penegak Hukum,” katanya.
Di samping itu, 38 perusahaan yang terlibat dalam perjanjian KSO di WIUP PT Antam agar segera di tersangkakan, karena menurutnya masih ada perusahaan lain yang memfasilitasi Dokumen Terbang dalam praktik merugikan negara tersebut.
“Ini merupakan kejahatan moral, sebab moral erat kaitannya dengan sebuah etika profesi dan integritas penegakan hukum, karena itulah hukum disandarkan pada nurani. Moralitas tak memiliki ukuran matematis—tolak ukurnya hanya dapat dinilai dari sebuah hasil yang besar dalam penegakan hukum,” terangnya.
Kini, ia menyebut Kejagung seperti sedang berada dalam kondisi yang dilematis. Terlepas dari itu tentu dia meminta pihak Kejagung berani membuka persoalan ini ke publik agar tak terkesan tebang pilih.
“Ini diperlukan guna mengembalikan integritas & marwah kejaksaan,” tutupnya.
(Verry/parade.id)