Jakarta (parade.id)- Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari puluhan organisasi dan tokoh masyarakat mengecam keras peluncuran buku Sejarah Nasional Indonesia edisi terbaru. Mereka menilai penulisan ulang sejarah ini sebagai upaya sistematis negara untuk membersihkan tanggung jawab rezim Orde Baru dari ingatan kolektif masyarakat.
Buku yang diluncurkan Minggu kemarin merupakan hasil proyek Kementerian Kebudayaan yang dimulai sejak awal tahun ini. Meski diklaim menggunakan “tone positif”, koalisi justru melihat pendekatan ini sebagai cara untuk menonjolkan keberhasilan rezim sembari menghilangkan fakta represi, penindasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
“Tanpa suara korban, Sejarah Nasional Indonesia hanyalah narasi penguasa,” tegas koalisi dalam rilis persnya.
Kritik tajam ditujukan pada hilangnya suara korban kekerasan negara masa Orde Baru dalam narasi buku tersebut. Fakta historis tentang keterlibatan Soeharto dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga dianggap ditiadakan.
Selama 32 tahun berkuasa, pemerintahan Soeharto bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM berat, termasuk pembasmian massal, perampasan sumber daya alam, kekerasan terhadap perempuan, pembatasan kebebasan pers, dan penindasan terhadap serikat buruh.
Koalisi menyebut dalam draf buku yang sempat beredar, sejumlah kasus pelanggaran berat HAM yang telah diselidiki Komnas HAM justru direduksi atau dihilangkan sama sekali. Mereka menyebut pengaburan ini sebagai bentuk “epistemisida” atau penghancuran pengetahuan atas kejahatan kemanusiaan yang seharusnya dipertanggungjawabkan negara.
Kekhawatiran semakin besar karena buku sejarah dengan tafsir tunggal versi pemerintah ini akan dijadikan bahan ajar di sekolah-sekolah. Koalisi menilai ini sebagai upaya manipulasi memori kolektif bangsa sejak dini.
Manipulasi tidak hanya melalui buku sejarah, tetapi juga lewat pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Di tengah minimnya pengakuan, kebenaran, dan keadilan atas pelanggaran berat HAM sepanjang Orde Baru, pemberian gelar tersebut dianggap sebagai rehabilitasi simbolik terhadap aktor yang diduga bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang tak pernah diproses hukum.
Koalisi mencatat peresmian buku ini menambah daftar panjang tindakan negara dalam “memutihkan dosa Orde Baru.” Sebelumnya, terjadi penyangkalan atas pelanggaran berat HAM dalam Peristiwa Mei 1998 oleh Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra dan penyangkalan perkosaan massal oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Negara juga memberikan berbagai penghargaan kepada sejumlah nama yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM, seperti Eurico Guterres, Prabowo Subianto, Sjafrie Sjamsoeddin, Zacky Anwar Makarim, Abilio Jose Soares, Wiranto, dan Hendropriyono.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional juga diberikan kepada Sarwo Edhie Wibowo, yang secara rantai komando dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM Peristiwa 1965-1966.
Kekerasan Negara Masih Berlanjut
Koalisi mengingatkan bahwa hingga kini, negara masih mengandalkan pendekatan keamanan dalam menghadapi demonstrasi dan menjalankan kebijakan ekonomi. Penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, penyiksaan, hingga pembunuhan di luar hukum masih terus terjadi.
Penggusuran dan perampasan ruang hidup terus berlangsung di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun komunitas adat. Atas nama pembangunan ekonomi, negara juga dianggap membiarkan perusakan lingkungan hingga bencana ekologis yang merugikan rakyat dan menguntungkan segelintir elite.
“Kami yang berdiri bersama dan berpihak pada korban menyatakan bahwa peresmian buku Sejarah Nasional Indonesia tanpa suara korban hanyalah narasi tunggal penguasa yang dijadikan alat kekuasaan,” tegas koalisi.
Mereka menegaskan akan terus berpihak pada kebenaran dan keadilan. “Kami menolak lupa dan akan terus merawat ingatan.”
Rilis pers ini ditandatangani oleh lebih dari 60 organisasi masyarakat sipil dan puluhan individu, termasuk akademisi, aktivis HAM, dan penyintas kekerasan negara.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas terdiri dari organisasi seperti KontraS, IMPARSIAL, ICW, YLBHI, WALHI, IKOHI, dan puluhan organisasi serta akademisi lainnya.*







