Jakarta (parade.id)- Kuasa hukum korban penipuan tas mewah, Martin Simanjuntak khawatir putusan hakim merugikan kliennya. Hal itu disampaikan Martin usai agenda pembelaan (pledoi) terdakwa, kemarin, di PN Jakarta Selatan.
Ia menilai ada sejumlah fakta yang mengkhawatirkan dalam persidangan menjelang sidang putusan ini.
“Menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya kasus penipuan semata (Pasal 378) tetapi lengkapnya adalah kasus dugaan Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan serta Pemalsuan Surat (Pasal 263) yang disertai dengan penggunaan surat izin usaha perdagangan (SIUP) yang diduga Palsu yang merugikan kliennya Rizky Ayu Jessica selaku Pelapor. Kami menyayangkan sikap JPU. Tuntutan JPU kurang optimal dengan hanya menuntut Terdakwa dengan Pasal 378 (Penipuan),” demikian ungkapnya, yang disampaikan kepada media.
“Padahal, Dalam Surat Dakwaan Terdapat Pasal 263 dengan ancaman hukuman Pidana selama enam (6) tahun yaitu, terkait dugaan Pemalsuan Surat, yang menurut Fakta Persidangan bahwa SIUP yang digunakan merupakan siup abal-abal atau SIUP (diduga) Palsu,” ia melanjutkan.
Martin mengatakan, Terdakwa kasus dugaan penipuan, penggelapan, dan pemalsuan terkait SIUP, Shirly Prima Gunawan dituntut hukuman 2 tahun 6 bulan penjara.
PN Jakarta Selatan menyidangkan kasus dugaan penipuan perkara nomor 136/Pid.B/2023/PN JKT.SEL dengan terdakwa Shirly Prima Gunawan, dengan agenda persidangan pembacaan pembelaan Terdakwa (pledoi).
Kasus ini mendapat sorotan tajam Kuasa Hukum Pelapor Rizky Ayu Jessica, Kuasa Hukum Pelapor Martin Lukas Simanjuntak dan Sabar Daniel Hutahaean.
“Menuntut terdakwa dengan amar putusan selama dua tahun enam bulan,” kata JPU Ibnu Suud saat membacakan tuntutan di PN JakSel, dalam ruang sidang 06 Prof. Dr. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro pekan lalu, Selasa, 22 Agustus 2023.
Hakim Ketua Samuel Ginting juga membacakan tuntutan usai diberikan berkas tuntutan oleh JPU.
Hakim Ketua mengatakan JPU menuntut terdakwa dengan menyatakan bersalah yang pada pokoknya menuntut terdakwa melakukan tindak pidana penipuan.
“Terdakwa dituntut dua tahun enam bulan dikurangi masa penahanan. Dibebani biaya perkara Rp2 ribu,” ujar Hakim Ketua saat itu.
Pada sidang hari ini, Selasa (5 September 2023) dalam agenda Pledoi, Martin membantah pembelaan terdakwa Shirly Prima Gunawan yang dalam pembelaannya membantah telah melakukan penipuan. Shirly bahkan menyatakan bahwa ia adalah korban.
“Hari ini tanggal 5 September, dua minggu pasca (sidang) tuntutan jaksa yang menuntut dengan pasal 378, bukan dengan (pasal) 263. Padahal terdapat pembuktian yang cukup dalam hal SIUP yang digunakan itu (diduga) bukan SIUP asli. Dan hari ini terdakwa melakukan nota pembelaan atau Pledoi. Pledoi dia pribadi, atas pledoi yang disusun oleh Para penasehat Hukum,” katanya.
“Menurut ketentuan KUHP (Pidana) ini adalah suatu hal upaya untuk membela diri. Terdakwa diberikan hak ingkar, jadi boleh dia membantah, membantah dan membantah tidak akan dikenakan pasal 242 KHUP,” Martin melanjutkan.
Martin mengatakan, tadi bantahan (terdakwa) adalah justru yang bersangkutan mengaku sebagai korban, tidak ada niat jahat dan hanya ingin membantu saudari Fony Kurniadjaja (Saksi pelapor dalam kasus ini) agar tidak terlilit dari utang.
“Bahkan katanya sudah mendapat izin dari Hermes, toko tas itu untuk membuat SIUP,” terang Martin.
“Toko mahal pasti sudah punya SIUP kan? Terus buat apalagi dia (Terdakwa) buat SIUP..atas nama orang, gitu. Sedangkan kami juga mendapatkan informasi bahwa pemilik toko tas itu juga membantah, terkait adanya kepemilikan di luar dari pemilik sebenarnya,” imbuhnya.
Lalu, lanjut Martin, pledoinya penasehat hukum juga ia lihat sama. Dia menarik bahwa ini adalah perbuatan cidera janji ataupun wanprestasi.
“Tapi dalam tindak pidana itu yang paling penting adalah unsur tindak pidana terpenuhi. Kalau dalam tuntutan 378 maka setiap unsur itu harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dengan JPU menuntut berarti sudah cukup pembuktiannya,” kata dia.
“Tinggal Hakim melihat, ada nggak keyakinan dia? Kalau dua alat bukti, saya pikir sudah cukup ya. Tapi yang saya cukup khawatir di sini hari ini Ketua Majelis Hakimnya, harusnya kan Pak Samuel Ginting. Tadi siang saya lihat beliau ada, tapi pada saat sore, mau sidang, justru diganti sama yang lain, gitu ya. Ini enggak tau karena sakit, karena dinas, atau karena apa?” terangnya.
“Ini yang sebenarnya saya khawatir, manakala di sidang pertama di tanggal 21 Maret (2023), terdakwa ini tiba-tiba jadi tahanan rumah..gitu. Sidang pertama yaa. Kalau sidang kedua, sidang ketiga (jadi tahanan rumah? ini adalah sesuatu hal yang mengandung pemberlakuan khusus, pada Terdakwa. Kapan surat itu dilayangkan? Kapan surat itu dikaji dulu, Kok tiba-toba jadi tahanan rumah?” tanya Martin.
Bersurat ke Bawas dan KY
Karena keprihatinan itulah, Martin mengungkap pihaknya sempat bersurat ke Bawas dan Komisi Yudisial (KY). Supaya, ketika ada sesuatu hal yang mencurigakan atau ada indikasi mencurigakan, bisa dipantau bersama-sama.
“Jangan sampai nanti ada perbuatan-perbuatan yang sifatnya transaksional yang bisa saja berimplikasi terhadap putusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa,” urainya.
Dalam praktiknya nanti, Martin mengaku khawatir kalau dari Mahkamah Agung (MA) dan juga Bawas MA dan KY tidak ikut memantau, hanya kami saja yang memantau dengan rekan-rekan media, bisa terjadi putusan yang tidak memberikan keadilan bagi Pelapor, Korban dan juga tindakan preventif kepada Masyarakat supaya keadilan di atas, supaya keadilan serupa tidak terulang lagi.
“Bisa saja putusannya ontslag? Atau lepas? Bisa saja putusannya nanti pidana percobaan? Kita enggak tau. Tapi apa pun itu, karena kami peduli, sebagai Kuasa Hukum Pelapor dan Korban dan kami juga peduli kepada penegakkan hukum ke depan, yang berkeadilan, kami datang kesini untuk memantau,” kata Martin.
Martin juga menyoroti JPU yang pada sidang Pledoi ini sudah menyatakan tidak akan melakukan replik (jawaban atau tanggapan JPU atas pembelaan (pledoi) Terdakwa. Martin menegaskan, manakala hari ini tidak ada statement bahwa JPU akan melakukan replik, maka ia berharap apa yang ia sampaikan tadi mengenai kekhawatiran itu, tidak terjadi.
“Karena indikasi-indikasinya semakin kencang ini. Tapi sih itu, kekhawatiran. Mudah-mudahan tidak terjadi.” imbuhnya.
“Tapi kalau terjadi, ya kita selaku Kuasa Hukum Pelapor dan Korban juga akan melakukan, menempuh upaya-upaya hukum yang lain.” tandasnya.
Oleh karena itu, Martin menegaskan, apa pun itu putusan Hakim, Jaksa harus berani mengambil sikap apabila putusan tersebut tidak mencerminkan atau pun memberikan kepastian hukum dan keadilan, kemanfaatan bagi Pelapor dan juga Korban.
Diketahui, sidang akan kembali digelar pada Selasa (26/9/2023) dengan agenda pembacaan putusan.
Martin menginformasikan, Rizky Ayu Jessica (Pelapor) secara resmi melaporkan Shirly Prima Gunawan (Terlapor/Terdakwa) ke Polda Metro Jaya atas Peristiwa yang terjadi pada sekira Bulan Maret s.d Mei 2022 dengan tuduhan, Terdakwa diduga keras telah melakukan Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan serta Pemalsuan Surat yang disertai dengan penggunaan SIUP yang diduga palsu dengan tujuan agar Pelapor dan Korban (Jimmy Budijanto) percaya dan seolah-olah benar bahwa Terlapor memiliki Toko Tas Mewah yang berada di Mall Artha Gading, berdasarkan SIUP Kecil Nomor: 217/24.1PK/31.71.07/-1.824.27/e/2016 yang dimiliki oleh Terdakwa Shirly Prima Gunawan.
Menurutnya, kasus ini berawal dari adanya jaminan bisnis tas bermerek sebesar Rp18 miliar melalui surat pernyataan utang yang akhirnya tidak terealisasikan pembayarannya.
Terdakwa Shirly Prima Gunawan memberikan bilyet giro atau giro kosong atau ditolak oleh otoritas Bank.
Akibat tindakan terdakwa, korban mengalami kerugian sebanyak 17 tas branded dengan merek Dior, Hermes, Chanel dan lainnya sesuai yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Perkara Pidana Nomor 136/Pid.B/2023/PN. JKT SEL. Perkara ini menyebabkan korban mengalami kerugian secara materill dan imateriil.
Sementara itu, saat berita dirilis, belum diperoleh penjelasan resmi dari Terdakwa maupun kuasa hukumnya soal kasus dugaan penipuan ini.[]