Jakarta (PARADE.ID)- Masih berlangsungnya penolakan oleh buruh Indonesia terkait UU Omnibus Law dari banyak serikat atau elemen, tak terkecuali Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin (FSP LEM) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), membuat SPSI berencana kembali melakukan unjuk rasa.
Menurut Ketua Pimpinan Unit Kerja (PUK) salah satu perusahaan di Jakarta Timur, FSP LEM SPSI, Tarmidi, kembalinya turun bukan saja karena sudah jelas isi UU tersebut dan bermasalah soal hukum, tapi karena dirasa juga ada aroma politik di dalam perjalanannya hingga pada akhirnya disahkan.
Ada dugaan oknum-oknum tertentu (dari pengusaha) yang ikut berjuang meloloskan UU ini. UU ini tampak dipaksakan.
Berikut wawancara eksklusif parade.id bersama Tarmidi terkait UU Omnibus Law dan rencana aksi kembali, Ahad (25/10/2020), di Bekasi, Jawa Barat:
Pandangannya soal UU Omnibus Law?
Omnibus Law ini kan jika terunut, permintaan dari pemerintah yang memang sangat dipaksakan.
Maksudnya?
Omnibus Law ini politik tingkat tinggi. Misalkan Omnibus Law (aksi) dikaitkan dengan Covid-19. Kalau bicara Covid-19, siapa yang tidak tahu. Ini kan virus mematikan. Kita tidak pungkiri itu. Tetapi, yang namanya penyakit, itu semua pasti ditakutin. Tapi kan lucu ketika kita tertib tapi DPR sendiri tidak pakai masker. Liat di TV.
Maju terus ini?
Jadi, kawan-kawan buruh ini, khususnya di DKI tidak lagi berpikiran itu. Karena kita berpikiran juga sudah seperti melanggar HAM.
Alasan kuat apa melatarbelakangi itu?
Kenapa kita meminta agar Omnibus Law dibatalkan atau kita menolaknya? Pertama terkait pasal, di mana kita saksikan bahwa ada 141 pasal dan 146 pasal bahkan kabarnya sekarang ada seribu sekian pasal.
Pasalnya bertentangan dengan subjek hukum yang kita pakai. Omnibus Law (sedari berbentuk draf) secara konstitusional gagal (inkonstitusional) tanpa diuji materi sudah gagal.
Bisa berikan contohnya?
Kita ambil contoh satu saja bahwa UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur ketenagakerjaan itu bersifat lex specialis hukum. Artinya hukum yang dikhususkan. Ketika diambil 11 dari UU 13, masuk ke Omnibus Law, maka ini sudah tidak menjadi lex specialis. Merombak tatanan hukum.
Maksudnya?
Dari sisi materil dan formil Omnibus Law ini cacat. Itulah kenapa kita menolak. Harusnya para sarjana hukum yang tahu kemudian mendukungnya harusnya malu.
Namun ditetapkannya atau tidak oleh pemerintah, itu UU tetap jalan karena masuk ke dalam hukum positif. Oleh karena itu strategi agar UU itu tidak berlaku, Presiden keluarkan Perppu.
Kira-kira ada pengaruh lain Omnibus Law tampak tarik menarik?
Dalam hadirnya Omnibus Law itu juga boleh jadi tampaknya ada oknum-oknum yang tak suka dengan upah kita gede, sehingga dipaksakan dijadikan UU.
Berarti akan ada aksi lagi?
Bukan tanggal 7, 8, atau 22 saja bahkan tanggal 28 ini kita akan bergerak bersama elemen buruh. Kita juga akan bergerak di tanggal 1 juga kita akan bergerak. Aksi ini kemungkinan bukan yang terakhir.
Untuk tanggal 28 nanti, massa turun kemungkinan akan sama seperti yang awal (tanggal 8). Suratnya sebenarnya sudah turun dan keluar.
Estimasi?
Hanya pengurus saja. Estimasi pastinya belum.
Namun kemungkinan secara keseluruhan. SPSI ada sekitar 11 elemen: LEM, KEP, PPMI, RTMN, TSK, dan lainnya. Paling menonjol LEM saja.
SPSI ada di Jakarta Timur ada 59.000. Dari 59 PUK (perusahaan). Di perusahaan saya ada 800 anggota. Kemarin itu hanya 36, karena instruksinya hanya pengurus saja. Pengurus sih hanya 13. Ditambah “tentaranya” LEM: Bapor.
Untuk tanggal 28 sepertinya masih tetap dengan komposisi kemarin.
Hanya segitu?
Tapi saat di lapangan massa bertambah, itu karena karyawan yang dirumahkan ikut aksi. Padahal gak masuk instruksi. Hanya merasa dirugikan adanya Omnibus Law.
Di mana kawan-kawan nanti berkumpul?
Untuk titik kumpul tidak ada. Kita hanya bertemu di sana (istana).
Jadi instruksi tanggal 28 ini kita bersama elemen-elemen lain (termasuk BEM) turun. Kemungkinan ada penambahan satu elemen. Saya lihat perintahnya GNPF juga turun sepertinya. Kemungkinan.
Bisa dijelaskan?
Sempat ada imbauan dari Ketua Umum Arif Minardi bahwa kita akan masih memberikan ruang kepada pemerintah, agar kita tidak melakukan sesuatu yang merugikan perusahaan juga. Tapi kita masih tetap dalam bentuk unjuk rasa (di tanggal 28).
Di atas kita ada yang mendukung (Omnibus Law) ada yang tidak mendukung (Omnibus Law). Sebenarnya di dalamnya sih tidak pecah. Tapi ada petinggi yang TV dia bicara, “Dampak Omnibus Law-nya apa”?
Ada komunikasi dengan elemen buruh lain untuk tanggal 28?
Ada. Kami ada komunikasi dengan kawan-kawan serikay lainnya. Semuanya. Kecuali tanggal 22 kemarin tidak ada komunikasi.
*Tarmidi, SH., Ketua PUK PT Morita Tjokro Gearindo (MTG) Kawasan Industri Pulogadung dari Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin (FSP LEM) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI)