Jakarta (parade.id)- Partai Buruh bersama Serikat Petani Indonesia (SPI) disebut Exco Pusat Partai Buruh Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan, Angga Hermanda mengusulkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp5.600 per kg. Pertimbangannya karena kenaikan upah tenaga kerja, sewa lahan, dan sewa peralatan.
“Upah tenaga kerja sekarang sudah Rp120.000-150.000 per hari, sewa lahan tentu sudah naik diatas 3-4 juta per hektare, terus sewa peralatan pada umumnya Rp1,5 juta. Kemudian biaya panen belum dihitung rata-rata Rp3 juta/ha, bahkan di beberapa daerah masih ada biaya angkut,” usulnya, Rabu (22/2/2023), dalam keterangan tertulis kepada media.
Usulan tersebut untuk merevisi kebijakan Kemendag pada tahun 2020. Dimana menurutnya sudah tidak sesuai lagi dengan biaya yang ditanggung oleh petani.
“Hal ini menjadi penting karena saat ini tengah memasuki masa panen raya, sehingga penetapan harga yang layak menjadi sangat penting dan genting,” katanya.
Selain itu, Partai Buruh juga menyoroti disharmoni peraturan yang mengatur HPP Gabah atau Beras. HPP sebelumnya diatur dalam Instruksi Presiden tahun 2015, lalu direvisi melalui Peraturan Kementerian Perdagangan RI tahun 2020, dan sekarang melalui Surat Edaran Bapanas Tahun 2023. Setidaknya terdapat tiga hal yang ditemui dari perubahan peraturan tersebut.
Pertama, ketidakteraturan peraturan justru membuat penerapannya tidak optimal, bahkan kerap diacuhkan. Kedua yaitu besaran penetapan harga yang tidak sesuai dengan situasi dilapangan akan mempengaruhi produksi dan pasar.
Kemudian yang ketiga, dengan tidak dilibatkannya petani dalam perumusan harga menunjukan kehadiran Bapanas bukan dibentuk untuk tujuan awal kelembagaan pangan yang dimaksud UU 18/2012 tentang pangan.
Penjelasan di atas oleh Angga untuk mengkritisi disepakatinya harga batas bawah Rp4.200 per Kg dan harga batas atas Rp4.550 per Kg, untuk GKP di tingkat petani—akan merugikan petani padi. Penentuan harga itu menurut dia abai terhadap fakta-fakta bahwa terjadi peningkatan biaya produksi dan modal yang ditanggung petani.
“Seperti kenaikan harga pupuk, kenaikan sewa tanah, kenaikan biaya upah pekerja (bagi petani yang tidak mengusahakan sawahnya sendiri),” katanya.
Sebelumnya, Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan bahwa Surat Edaran (SE) Nomor 47/TS.03.03/K/02/2023 tentang Harga Batas Atas Pembelian Gabah atau Beras akan memperburuk kesejahteraan petani dan juga merugikan konsumen di Indonesia. Hal itu berkaca dari gejolak harga beras yang terjadi di Indonesia selama 2022 lalu, persoalan penyerapan beras untuk cadangan pemerintah menjadi salah satu permasalahan mendasar, bahkan menjadi dalih impor Beras 500.000 ton.
“Oleh karenanya Partai Buruh menolak Impor Beras, terlebih produksi dalam negeri sepanjang tahun lalu masih mencukupi. Partai Buruh menegaskan agar kebijakan penyerapan beras haruslah memperhatikan kesejahteraan petani dan konsumen,” kata Said Iqbal, Rabu (22/2/2023), dalam keterangan tertulisnya kepada media.
Partai Buruh disebut Iqbal mendesak pemerintah memastikan jaminan harga yang layak sesuai dengan biaya yang ditanggung oleh petani.
“Sementara itu perlu ada kontrol ketat distribusi beras kepada masyarakat, sehingga harga beras bisa terjangkau untuk dibeli oleh konsumen. Jangan berikan peluang kepada korporasi yang menjadi ‘pemain tengah’ dalam rantai distribusi beras meraup untung besar,” tambahnya.
Ketua Dewan Penasehat Partai Buruh Henry Saragih juga angkat suara, dengan menyesalkan terbitnya SE tersebut. “Penentuan harga pembelian gabah atau beras dibahas tanpa melibatkan petani. Bahkan pihaknya mendapat informasi, kementerian teknis terkait pangan seperti Kementerian Pertanian tidak diikutsertakan,” kata dia.
Sebaliknya, kata dia, Bapanas justru melibatkan korporasi pangan, seperti Wilmar Padi. Dimana keterlibatan dalam menentukan batas atas harga menjadi ruang bagi korporasi pangan skala besar untuk dapat membeli gabah dari petani dengan harga yang murah, lalu memprosesnya (mengolah dan mendistribusikannya) dengan standart premium dan harga yang premium atau harga tinggi.
“Alih-alih mengendalikan harga beras ditingkat konsumen, penetapan harga yang dilakukan Bapanas justru membuka peluang penguasaan gabah atau beras oleh korporasi. Bukan tidak mungkin kejadian serupa minyak goreng yang tidak mampu dikendalikan harganya oleh pemerintah pada tahun 2022 lalu berulang dialami beras,” kata dia, yang juga Ketua Dewan Penasehat Partai Buruh.
(Rob/parade.id)