Jakarta (parade.id)- Jihan Dzahabiyyah, narasumber dari Organisasi Riset dan Advokasi Pattiro, tegas menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Ia menilai langkah tersebut sebagai kemunduran serius dalam upaya memperbaiki tata kelola pelayanan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Menurut Jihan, mundurnya Soeharto pada masa lalu bukan tanpa alasan, melainkan karena desakan publik akibat banyaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merusak transparansi dan kualitas pelayanan publik.
”Publik sangat tidak puas dengan pelayanan publik pada masa pemerintahannya yang penuh praktik KKN,” ujar Jihan dalam Konferensi Pers Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto, Jumat (31/10/2025), yang diadakan Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS), di Resonansi, Kalibata, Jakarta Selatan.
Pemberian gelar pahlawan, lanjutnya, tidak hanya menghapus jejak sejarah yang kelam tetapi juga memberikan pesan keliru bahwa korupsi selama 32 tahun bisa dimaafkan dengan gelar kehormatan. Pemerintah seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan integritas dan good governance, bukan sebaliknya mempromosikan figur yang bertolak belakang dengan nilai-nilai tersebut.
Jihan juga menyangsikan transparansi proses pemberian gelar ini. “Apakah prosesnya benar-benar transparan dan melibatkan partisipasi publik? Kalau alasan stabilnya ekonomi selama pemerintahan Soeharto, apakah itu persepsi masyarakat atau hanya versi pemerintah saja?” katanya.
Ia mengutip penelitian dan pendapat dari tokoh lain yang menunjukkan bahwa kemajuan sebuah negara bisa dicapai dengan membuka ruang politik dan tanpa pembungkaman politik, yang bertolak belakang dengan gaya pemerintahan Soeharto yang otoriter.
Sebagai penutup, Jihan menegaskan bahwa transparansi bukan sekadar memberikan akses informasi kepada masyarakat, tetapi juga soal tanggung jawab moral negara dalam pendidikan publik. Pemberian gelar ini dianggapnya mengabaikan aspek penting tersebut.*
 
	    	 
		    







