Jakarta (PARADE.ID)- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, langkah Polres Kepulauan Sula yang memanggil pengunggah guyonan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menunjukkan sikap anti-kritik.
Guyonan Gus Dur itu menyebutkan polisi jujur terdiri atas patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal (Pol) Hoegeng Imam Santoso, mantan kepala Polri.
“Tindakan itu berlebihan. Tindakan itu bisa mencerminkan bahwa kepolisian anti-kritik,” kata Usman ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (18/6/2020).
Menurut Usman, kasus tersebut memperlihatkan aparat kepolisian tidak memahami arti kebebasan berpendapat.
Padahal, ia menegaskan, kritik adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dilindungi konstitusi.
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Hak tersebut juga dijamin hukum internasional, yaitu pada International Convenant of Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Usman berpandangan, pemeriksaan tersebut justru akan berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian.
“Justru tindakan kepolisian yang memeriksa warga tersebut dan memerintahkannya untuk meminta maaf berpotensi melanggar konstitusi sendiri,” ujarnya.
“Kalau sudah begitu, akuntabilitas kepolisian sebagai sebuah lembaga bisa dipertanyakan,” ucap Usman.
(kompas/PARADE.ID)