Jakarta (PARADE.ID)- Penelitian yang dilakukan oleh Ipsos Mori untuk King’s College London, Inggris memaparkan kesalahpahaman masyarakat mengenai informasi wabah virus corona COVID-19.
Menurut penelitian yang dipublikasikan Kamis (18/6/2020) ini, mereka yang menggunakan platform sosial media Facebook dan YouTube biasanya mendapatkan informasi yang menyesatkan, dan cenderung lebih percaya pada teori konspirasi mengenai virus dengan nama resmi SARS-CoV-2 ini.
Dalam survei bulan Mei, sebanyak 30 persen warga Inggris berpikir bahwa virus corona kemungkinan dibuat di laboratorium. Angka ini naik 25 persen pada April. Sebanyak 8 persen warga percaya bahwa COVID-19 hadir akibat radiasi jaringan seluler 5G, sedangkan 7 persen warga percaya bahwa tidak ada bukti kuat bahwa COVID-19 ada.
Sebanyak 60 persen warga yang percaya virus hadir akibat radiasi jaringan seluler 5G, mendapatkan informasi dari YouTube. Lebih banyak dibandingkan dengan 14 persen warga yang berpikir bahwa kepercayaan ini salah.
Sementara, 56 persen orang yang percaya bahwa tidak ada bukti kuat bahwa COVID-19 ada menggunakan Facebook sebagai sumber informasi mereka. Angka ini hampir tiga kali lebih tinggi dari 20 persen yang percaya bahwa penyakit COVID-19 nyata.
Namun hoax corona dari saluran seluler 5G di dunia maya ini menyebabkan kerugian dunia nyata. Puluhan tiang telepon di Eropa dibakar, bahkan para pekerja telekomunikasi dilecehkan di jalan oleh warga yang termakan kepercayaan tersebut.
Warga percaya jika generasi kelima jaringan seluler tersebut dapat melemahkan sistem kekebalan manusia, sehingga lebih mudah tertular. Namun, masalah kesehatan yang berhubungan dengan jaringan nirkabel bukanlah hal baru. Para ilmuwan menampik anggapan bahwa 5G menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia.
Meskipun semua klaim kepercayaan itu ditolak mentah oleh para ilmuwan, pihak berwenang di Inggris ikut turun tangan dengan memanggil perusahaan sosial media untuk mengantisipasi dengan melawan informasi yang salah mengenai wabah ini.
Hubungan Medsos dengan Hoaks COVID-19
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis peer-review Psychological Medicine ini menemukan hubungan yang kuat antara penggunaan sosial media dan keyakinan yang salah soal COVID-19.
Temuan ini didasarkan pada tiga survei terpisah yang dilakukan secara online sejak 20 Mei hingga 22 Mei, dan melibatkan 2.254 wawancara dengan warga Amerika Serikat berusia 16 hingga 75 tahun.
Studi ini juga menemukan bahwa orang yang menggunakan sosial media untuk menemukan informasi tentang COVID-19, cenderung melanggar aturan dan larangan jaga jarak sosial.
Para peneliti mengatakan 58% dari mereka yang memiliki gejala COVID-19 malah pergi ke luar setelah mendapatkan informasi yang salah dari YouTube. Angka ini jauh lebih tinggi daripada 16 persen warga yang tidak mempercayai informasi tersebut.
Bahkan sebanyak 37 persen orang senang mengunjungi atau dikunjungi teman atau sanak saudara setelah mendapatkan informasi COVID-19 di Facebook. Angka ini juga lebih tinggi dibandingkan 23% orang yang tidak percaya informasi dari platform tersebut.
“Ini tidak mengejutkan, mengingat begitu banyak informasi di sosial media yang menyesatkan atau salah,” kata Daniel Allington, dosen senior dalam kecerdasan buatan sosial dan budaya di King’s College London, dikutip dari CNBC Internasional.
“Sekarang beberapa aturan jaga jarak sedang dilonggarkan, orang harus membuat lebih banyak keputusan sendiri tentang apa yang aman atau tidak aman. Ini artinya akses informasi berkualitas baik tentang COVID-19 akan menjadi lebih penting daripada sebelumnya,” tambah Allington.
“Sudah waktunya bagi kita untuk memikirkan tindakan apa yang bisa kita ambil untuk mengatasi masalah yang sangat nyata ini.”
Facebook dan YouTube Hapus Konten Menyesatkan Soal COVID-19
Pihak Facebook dan YouTube sama-sama mengatakan mereka menghapus beberapa jenis informasi yang salah tentang virus corona dan penyakitnya, seperti perawatan palsu dan saran yang terkait dengan teknologi 5G.
Kedua platform ini juga bekerja dengan otoritas kesehatan seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Layanan Kesehatan Nasional Inggris untuk menampilkan informasi yang akurat mengenai penyakit ini.
“Kami telah menghilangkan ratusan ribu informasi yang salah terkait COVID-19 yang dapat menyebabkan bahaya segera, termasuk postingan tentang penyembuhan palsu, klaim aturan jarak sosial yang tidak bekerja, serta jaringan seluler 5G menyebabkan corona,” ujar juru bicara Facebook.
Sedangkan juru bicara YouTube mengatakan: “Kami berkomitmen untuk memberikan informasi yang tepat waktu dan bermanfaat mengenai COVID-19 selama masa kritis ini.”
“Ini termasuk meningkatkan konten otoritatif, mengurangi penyebaran informasi yang berbahaya dan menampilkan panel informasi, serta menggunakan data WHO dan sumber daya NHS, untuk membantu memerangi informasi yang salah,” tukas juru bicara YouTube.
Kini sudah ada 8.408.883 kasus terjangkit COVID-19 di seluruh dunia, dengan 451.472 kasus kematian, dan 4.418.788 pasien berhasil sembuh per Kamis (18/6/2020), menurut Worldometers.
AS menduduki posisi pertama dengan kasus terjangkit terbanyak, yakni 2.234.475 kasus positif, 119.941 kasus kematian, dan 918.796 kasus sembuh. Sedangkan Inggris menduduki posisi kelima dengan 299.251 kasus positif, dan 42.153 orang meninggal.
(cnbcindonesia/PARADE.ID)