Jakarta (PARADE.ID)- Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Asri Agung Putra mengatakan, di era digital saat ini, tren kejahatan pidana cenderung menggunakan piranti elektronik.
Oleh karenanya, ia mengusulkan adanya prosedur operasional standar (SOP) ketat yang berlaku di semua aparat penegak hukum dalam menangani alat bukti elektronik.
“Sehingga penanganan bukti elektronik tersebut bisa terwujud responsif dan akuntabel,” kata Agung di seminar virtual bertajuk “Urgensi Kerangka Hukum Pengaturan Bukti Elektronik di Indonesia” yang diadakan Lembaga Kemitraan, Rabu (8 Juli 2020).
Agung mengatakan, perlu sinkronisasi antarlembaga agar SOP tersebut berjalan dalam satu pemahaman. Di sinilah, pentingnya regulasi yang bisa dijadikan rujukan bersama.
“Sehingga, dari hulu dan hilir ada kesepahaman, ini yang penting kita wujudkan dalam rangka manajemen electronic evidence ini,” kata dia.
Mengenai regulasi, kata dia, haruslnya mencakup hal-hal, seperti cara pengambilan, pengelolaan, penyimpanan, dan saat membuka alat bukti di persidangan. Dengan begitu, semua aparat penegak hukum bisa mengakui keberadaan dan keaslian datanya.
Yang tak kalah penting, kata dia, kualitas sumber daya manusia yang menanganinya. “Tersedianya sumber daya manusia yang andal dan mumpuni baik kualitas maupun kuantitasnya untuk melaksanakan fungsi sebagai digital evidence first responder(DEFR),” ujar Agung.
Ke depan, ia juga menyarankan perlu membentuk pengelola data atau data examiner, analis data, pembuat laporan, dan pengelola bukti elektronik. “Ini salah satu prasyarat yang perlu ada dalam mengelola satu manajemen bukti elektronik,” jelas Agung.
Selanjutnya, dukungan infrastruktur manajemen penanganan alat bukti elektronik, yaitu pusat laboratorium digital forensik.
“Tidak mudah [membangun pusat laboratorium digital forensik] karena biaya sangat mahal,” kata dia.
“Oleh karenanya, saya juga ingin titip kepada Bappenas karena keberadaan laboratorium ini sangat penting dan sangat strategis, kami di Kejaksaan sekiranya bisa dilengkapi adanya laboratorium ini sehingga pengelolaan bukti elektronik dalam rangka penanganan kami bisa cepat mewujudkannya.”
Peran strategis
Bukti elektronik, kata Agung, memiliki peran strategis, terutama dalam efektivitas penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan putusan pengadilan.
“Bukti elektronik ini bisa menentukan apakah suatu perkara dapat ditutup penyidikannya atau dilanjutkan penuntutannya di depan persidangan,” kata dia.
“Kita menyaksikan persidangan terhadap kasus Jessica Wongso (pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihi dengan racun sianida yang telah diputus pada 2016), di mana peranan CCTV sangat menentukan dalam pembuktian.”
“Bagaimana seandainya perkara itu kita tidak dapatkan fakta dari CCTV, tentu itu akan menjadikan problema dalam penanganan yang dimaksud,” kata dia.
Tantangan lain dalam pembuktian elektronik, kata Agung, isu hak asasi manusia karena bukti elektronik itu mengandung konten yang sifatnya pribadi.
“Ini menjadi persoalan sehingga kita tidak mudah mendapatkannya karena akan berhadapan dengan isu HAM dan perlindungan data pribadi. Juga, isu pelanggaran kepentingan ekonomi dan bisnis,” ujar Agung.
Agung juga menegaskan, penanganan bukti elektronik bukan hanya tentang bagaimana mempergunakan teknologi yang terbaru untuk mendapatkan informasi terkait tindak pidana.
Namun, dibutuhkan pula agar penegak hukum secara “berkesinambungan memperbarui kebijakan penegakan hukumnya sebagai respons yang tepat terhadap kemajuan teknologi,” kata Asri.
(Cyberthreat/PARADE.ID)