Oleh:
Abdul Razaq Al Amin Ode
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Sastra Universitas Nasional
Pernyataan Presiden Joko Widodo saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lapangan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu 24 Januari lalu cukup menuai pro dan kontra di masyarakat, pasalnya Jokowi mengatakan bahwasanya presiden boleh ikut dan berpihak pada proses kampanye, selama itu tidak menggunakan fasilitas negara.
Pernyataan tersebut memiliki ambiguitas secara hukum, dimana pernyataan Pak Jokowi tersebut jelas melangkahi aturan perundang-undangan pemilu.
Dalam pernyataannya dia hanya mengacu pada satu pasal saja yang dimuat dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum, yakni pasal 281 ayat 1 yang berbunyi “Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan: (a.) tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (b.) menjalani cuti di luar tanggungan negara.”
Publik menilai ada kejanggalan dalam pernyataan presiden tersebut.
Bagaimana tidak, masyarakat sudah mengetahui bahwasanya yang tengah mencalonkan diri dalam kontestasi politik 2024 adalah anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Sementara dalam pernyataannya tersebut, Presiden secara eksplisit ingin menunjukkan keberpihakan atas politik cawe-cawenya. Padahal jika kita cermati secara mendalam, pada UU No.7 Tahun 2017 tentang pemilu, setelah pasal 281 terdapat lanjutan di pasal 282 dan 283 yang secara gamblang melarang Presiden atau pejabat negara lainnya untuk menguntungkan salah satu peserta pemilu kendati peserta pemilu tersebut adalah anggota keluarga dari Presiden.
Dari sini penulis mengindikasikan ada hiden agenda yang dibawa oleh presiden jokowi untuk menjadikan gibran sebagai the next pemerintahannya.
Pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut bisa kita lihat pada pertemuan antara Presiden dengan beberapa Ketua Umum Partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju. Mulai dari Pertemuan yang dikemas dengan makan siang bersama Airlangga Hartanto(Golkar), Zulkifli Hasan(PAN), Agus Harimurti Yudhoyono(Demokrat), dan yang paling miris adalah pertemuannya dengan Prabowo Subianto dalam jumpa makan siang di Magelang, 29 Januari yang lalu.
Ditambah lagi dengan pelanggaran terhadap pasal 547 UU No.7 Tahun 2017, dimana ada penyalahgunaan fasilitas negara dan gestur tubuh yang mengacungkan dua jari dari dalam mobil RI-1 pada saat kunjungan kerja di Salatiga, Jawa Tengah baru-baru ini. Gestur yang muncul dari dalam mobil RI-1 ini secara tendensius menunjukan keberpihakan Presiden kepada salah satu Paslon.
Keberpihakan Presiden yang lain juga bisa kita lihat pada Pembagian Bansos di berbagai daerah, salah satunya di Banten beberapa waktu yang lalu. Pembagian bansos seharusnya tidak dilakukan oleh Presiden, melainkan oleh Menteri Sosial atau Dinas terkait, kemudian semakin nampak keberpihakan presiden ketika pembagian bansos di Banten tersebut digelar di sebelah Baliho bergambar “Prabowo-Gibran”.
Olehnya itu jangan disalahkan bila publik dapat menilai ketika hasil pemilu nantinya telah muncul, adalah tidak terlepas dari praktik KKN dan kecurangan melalui politik cawe-cawe presiden.
Selain itu, statement Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari yang menyebutkan presiden dalam mengikuti kampanye harus mengajukan cuti ke presiden sangat absurd dan cacat logika hukum.
Penulis sepakat dengan Yusril Ihza Mahendra yang menyarankan presiden mengeluarkan kepres terkait cuti dan atau presiden menyampaikan kepada rakyat melalui pidato politik di istana, bahwasanya presiden telah cuti dalam menghadapi kampanye politik 2024 guna menghindari konflik kepentingan dan kegaduhan di masyarakat.
Presiden yang secara langsung juga adalah kepala negara harusnya bisa mencerminkan diri sebagai representasi dari seadil-adilnya keputusan, agar tidak menimbulkan asumsi di masyarakat tentang pemilu yang bersifat tidak fair dalam praktiknya.
Sementara pada faktanya diketahui bersama bahwa asas dari pemilu itu adalah jujur dan adil.
Analogi sederhananya adalah negara ini seperti satu keluarga, dimana ketika harta warisan hanya diberatkan pada satu anak saja, tentunya akan menimbulkan prahara/konflik interest dalam keluarga tersebut.
Begitulah gambaran dari Indonesia jika Presiden menunjukan keberpihakannya dalam kontestasi Pilpres 2024.
Penulis berharap agar Presiden Jokowi dapat menjadi teladan untuk masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya guna mencegah setiap konflik kepentingan dan memicu kegaduhan di masyarakat.
Sehubungan dengan itu pula, penulis mengutip salah satu petikan ahli, yakni Mao Zedong yang mengatakan: “Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah.”
Sebagai kesimpulan penulis menyarankan agar Jokowi sebagai presiden untuk tidak ikut serta dalam kampanye dan tidak menunjukan keberpihakannya kepada salah satu kontestan pemilu, kendati itu adalah anggota keluarganya.