Jakarta (parade.id)- Pengibaran bendera One Piece di bulan Agustus, yang merupakan momen sakral kemerdekaan Indonesia, memicu kontroversi tajam antara ekspresi kritik anak muda dan kekhawatiran atas peluruhan nilai nasionalisme. Pengamat politik Adi Prayitno menyoroti perlunya sikap terbuka sekaligus tegas dari pemerintah dalam menanggapi fenomena ini agar tidak menimbulkan keretakan lebih dalam di masyarakat.
Di tengah semarak perayaan kemerdekaan Indonesia ke-80, muncul polemik serius soal pengibaran bendera One Piece yang menjadi simbol ekspresi kelompok anak muda kritis. Menurut pengamat politik itu, pengibaran bendera ini sebenarnya merupakan bentuk keresahan atas berbagai persoalan pelik yang belum terselesaikan di negeri ini, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, pengangguran, dan kerusakan lingkungan.
“One Piece sebagai simbol fiksi perlawanan terhadap kekuasaan yang tak adil dinilai relevan sebagai kritik sosial,” ujar Adi, lewat channel YouTube-nya, Rabu.
Namun, kontroversi tidak berhenti di situ, kata Adi. Ketegangan meningkat ketika bendera One Piece dikibarkan bersamaan dengan bendera merah putih, yang dianggap banyak pihak mengurangi nilai sakral dan kehormatan merah putih sebagai lambang perjuangan dan persatuan bangsa.
Beberapa pejabat pemerintah bahkan memberikan pernyataan yang menyebut tindakan ini berpotensi makar dan mengancam keutuhan negara, yang kemudian memicu kemarahan dan penolakan keras dari kalangan mahasiswa dan aktivis sipil.
Adi menekankan pentingnya pemerintah memberikan batasan dan aturan yang jelas terkait penggunaan bendera merah putih bersanding dengan simbol lain. “Jika memang tidak diperbolehkan, penjelasan terbuka harus disampaikan agar tidak menimbulkan tafsir yang salah dan konflik hukum,” katanya.
Ia juga menyarankan agar pengibaran bendera One Piece dilakukan secara terpisah dan dengan ukuran yang tidak menyaingi merah putih, menghormati tradisi penghormatan terhadap simbol negara.
Menariknya, kontroversi ini lebih banyak berlangsung di ranah media sosial dibandingkan kenyataan di lapangan, di mana pengibaran bendera One Piece secara masif belum terlihat secara signifikan. Meski demikian, polemik tersebut telah menggambarkan bagaimana dinamika politik simbolik bisa memperuncing perbedaan pandangan dalam masyarakat.
Adi mengingatkan bahwa kritik, termasuk yang disampaikan lewat simbol seperti bendera One Piece, adalah wujud kecintaan pada Indonesia dan harus disikapi sebagai panggilan untuk perubahan. Namun ia juga mengingatkan agar kritik disampaikan secara santun dan terukur, tanpa melecehkan simbol nasional seperti sangsaka merah putih dan Pancasila.
“Kritik adalah proses panjang yang butuh konsistensi, bukan instan dan tidak boleh memecah belah,” tegasnya. Ia mengajak semua pihak menjaga sikap saling menghormati dan membangun dialog untuk kemajuan bangsa secara damai.
Fenomena ini menjadi cermin nyata betapa simbol dan ekspresi politik memiliki peranan besar dalam merefleksikan keresahan sosial dan memperlihatkan tantangan bangsa menuju kematangan demokrasi yang sesungguhnya. Pemerintah diharapkan menanggapi dengan kepala dingin dan kebijakan yang memperkuat persatuan, bukan sebaliknya menimbulkan friksi baru yang memperlebar jurang perpecahan di masyarakat.*