Jakarta (parade.id)- Presiden Mahasiswa Universitas Krisnadwipayana (Presma Unkris) Pier, menyatakan bahwa Perppu tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang kontroversial ini, besar kemungkinan disiapkan untuk menghindari meaningful participation, partisipasi publik, dan juga untuk mengejar November 2023.
Sebab, menurutnya, jika sampai November 2023 belum ada revisi dari putusan MK, tidak dijalankan maka yang akan terjadi adalah UU Ciptaker inkonstitusional permanen.
“Tapi pertanyaannya adalah, apakah situasi sekarang memenuhi syarat untuk dikeluarkannya Perppu? Apakah landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis terpenuhi untuk dikeluarkannya Perppu atau sepenuhnya merupakan ‘hak subjektif” Presiden?” tanyanya, kemarin, dalam rilis yang diterima parade.id.
Pier tidak membantah bahwa kewenangan menetapkan Pepppu oleh Presiden sangat riskan apabila tidak dibuat dengan pertimbangan yang sangat terukur dan matang. Kendati begitu, seorang Presiden menurut dia bisa saja mengeluarkan Perppu seperti Pemilu 2024 ditunda tiga tahun, jabatan presiden diperpanjang, atau Peppu apa pun berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden atas dasar ‘kegentingan yang memaksa’.
“Banyak pendapat yang mengatakan Perppu ini adalah contempt of court, pembangkangan terhadap UUD 1945, hanya mengutamakan kepentingan pengusaha, ada juga yang mengatakan Perppu tersebut telah mengkudeta konstitusi dan sebagainya. Adapun pada Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 13/2022 menegaskan bahwa dalam setiap pembentukan perundang-undangan, dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, harus memenuhi asas keterbukaan,” terangnya.
Presiden memang berwenang menetapkan Perppu dalam kegentingan yang memaksa. Namun, menurutnya penerbitan Perppu Ciptaker telah menegasikan putusan MK.
Dimana dalam hal penetapan Perppu Ciptaker telah menimbulkan persoalan baru karena menegasikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang meminta supaya pemerintah melakukan perbaikan dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja dengan memenuhi hak publik untuk berpartisipasi secara bermakna.
Karakteristik Perppu justru kata dia seperti meniadakan partisipasi publik yang bermakna, karena penerbitannya menjadi kewenangan subyektif presiden selaku kepala negara.
“Negara wajib memenuhi dan menghormati keterbukaan publik dan hak informasi publik. Hal itu, kata dia, dijamin dalam Pasal 28C Ayat (2) dan Pasal 28E Ayat (3) UUD RI 1945 jo. Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 23 Ayat 2, dan Bab Partisipasi Masyarakat UU HAM yang dimuat dari Pasal 100 hingga Pasal 103,” bebernya.
Besar harapan Unkris, kata dia, DPR dapat bersikap kritis, objektif, dan profesional dalam memberikan evaluasinya terhadap Perppu tersebut, yang ujungnya memberikan sikap menolak menyetujui Perpu tersebut sehingga harus dicabut (Pasal 22 ayat 3 UUD 1945) karena Perpu Nomor 2 Tahun 2022 constitutionally invalid (cacat secara konstitusional).
“Sekarang kita hanya menunggu sidang Paripurna DPR RI untuk memutuskan berlaku atau tidaknya Perppu cita kerja ini nantinya,” tutupnya.
(Abe/parade.id)