Jakarta (parade.id)- Mengaku resah melihat tidak jelasnya orientasi pendidikan yang ada di Indonesia, Yayasan Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI) berkolaborasi dengan Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB Post) mengadakan webinar bertema “Arah Baru Pendidikan Indonesia”, belum lama ini. Acara dipandu langsung oleh Indra Charismiadji, pengamat pendidikan nasional dan Prof. Dr. Ki Supriyoko M.Pd., Ketua Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Tamansiswa.
Direktur Eksekutif PUNDI, Haryono Kapitang menyampaikan bahwa keresahan itu dapat dilihat dari laporan re-imaigining Our Futures UNESCO, di mana sistem pendidikan kini terlalu menekankan nilai keberhasilan individu, pembangunan ekonomi dan persaingan nasional.
Seharusnya, menurut dia, pendidikan harus menjamin solidaritas, welas asih, etika, dan empati tertanam dalam desain kegiatan belajar.
“Oleh karenanya, PUNDI berkolaborasi dengan JIB Post memilih tema webinar ‘Arah Baru Pendidikan Indonesia’ sebagai upaya merefleksikan kembali situasi pendidikan nasional mutakhir yang berjalan tanpa orientasi,” sampainya.
Jika kita melihat, lanjutnya, fenomena dan polemik pendidikan nasional akhir-akhir ini cenderung didominasi budaya pragmatis dan mengalami dekadensi nilai moral yang akut. Maka, PUNDI bersama JIB Post ingin mengulas problematika ini secara mendalam.
Webinar yang diadakan Pundi juga mengundang Alpha Amirrachman, M.Phil., Ph.D., Sekretaris Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membawakan opening speech untuk membuka diskusi webinar yang akan berlangsung.
Salah satu peserta diskusi, Ulin Nuha yang berasal dari Ketapang, Kalimantan Barat, mengatakan bahwa webinar seperti ini sangat membantu dirinya, yang juga merupakan praktisi pendidikan. Dimana diskusi sangat jarang di daerah-daerah, padahal di sana sangat membutuhkan wawasan mengenai pendidikan Indonesia secara umum.
Begitu pula yang dirasakan Zul Arfi, peserta diskusi yang berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat.
Menurutnya, guru-guru di daerah sangat kesulitan menerapkan kurikulum merdeka belajar yang dicanangkan Kemendikbudristek.
Pembicara pertama, Indra Charismiadji menyinggung mengenai konsep merdeka belajar yang dinilai tidak mempunyai nilai akademis dan filosofis.
“Konsep merdeka belajar, yang digadang-gadang sebagai hasil refleksi pemikiran Ki Hadjar Dewantara ternyata sama sekali tidak memiliki nilai akademis dan filosofis. Sejatinya, konsep merdeka belajar adalah konsep dagang, bukan konsep pendidikan”, tegasnya.
Begitu pula dengan RUU Sisdiknas. Menurutnya, RUU Sisdiknas tidak mencantumkan naskah akademik. Padahal, untuk sebuah kebijakan yang mengarahkan orientasi pendidikan Indonesia ke depannya sama sekali tidak diketahui asal-usulnya.
“Lebih parahnya, RUU Sisdiknas disusun tetapi tidak diketahui naskah ademiknya ada di mana. Ini kan menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan ternyata tidak mempunyai ukuran yang jelas”, ucapnya.
Ia menyarakan, sejatinya jika ingin memperbaiki kualitas Pendidikan Indonesia terlebih dahulu harus menyusun grand design bagi pendidikan Indonesia. Jika ini tidak dilakukan, maka yang terjadi ialah arah pendidikan Indonesia menjadi tidak terukur dan tidak terarah.
“Ibaratnya seperti Gojek. Kita punya aplikasinya tapi tidak punya ojeknya. Pendidikan yang mau dibawa tidak jelas arahnya sebab kita tidak tahu mau ke arah mana”, pungkasnya.
Begitu pula dengan kebijakan pendidikan yang selalu diganti setiap menteri pendidikan. Tiap-tiap menteri pendidikan mempunyai kebijakan khas pada zamannya. Tetapi sejatinya substansi yang dibawa sama saja, tidak berubah.
“Yang ada hanya ilusi inovasi. Mutu pendidikan kita masih begini-begini saja. Kualitasnya masih tetap sama, di samping subsidi untuk pendidikan kita semakin bertambah”, ujarnya.
Buku teks pendidikan kurikulum merdeka pun ternyata hanya mencomot dari negera luar sehingga kita tidak punya pijakan kebudayaan dalam pendidikan kita.
“Seperti orang Indonesia yang tiba-tiba diajarkan tentang bunga Sakura dan musim salju.
Secara sosio-kultural, tentu hal ini tidak tepat untuk diterapkan oleh pendidikan kita”, pungkasnya.
Pembicara kedua, Prof. Ki Supriyoko, M.Pd., menyambung analogi yang disampaikan oleh Indra Charismiadji untuk menggambarkan arah pendidikan Indonesia saat ini.
“Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada bung Indra, saya mau menyambung analogi tadi yang soal Gojek. Saya malah melihat kita punya ojeknya, tapi kita tidak punya aplikasinya. Kita punya ide untuk membawa pendidikan Indonesia ke depannya, tetapi kita tidak punya kekuatan untuk merealisasikannya”, ujarnya.
Ki Supriyoko, begitu sapaan akrabnya, membahas persoalan teknologi dan hubungannya dengan pengembangan kualitas pendidikan kita saat ini. Ia banyak menyinggung soal teori teknologi beserta dampaknya bagi perkembangan masyarakat.
“Kita harus sadar bahwa kita sekarang hidup di zaman serba teknologi. Menurut teori Digital Native, anak-anak kita yang baru lahir sudah lazim berhubungan dengan teknologi. Jadi kuncinya ada di penguasaan teknologi kalau kita mau pendidikan kita naik kualitasnya”, ujarnya.
Ki Supriyoko juga menekankan bahwa Ki Hadjar Dewantara selalu mengingatkan kepada bangsa Indonesia bahwa kita harus mengikuti perkembangan zaman. Tetapi yang perlu diingat, perkembangan zaman tidak bisa dihentikan, tetapi nilai-nilai kebudayaan yang luhur harus tetap dipertahankan.
“Nilai-nilai pendidikan budi pekerti, kekeluargaan, dan tut wuri handayani jangan sampai ikut tergerus oleh perkembangan zaman. Zaman boleh berubah, tetapi substansi pendidikan berupa nilai-nilai luhur masih harus tetap dipertahankan”, pungkasnya.
(Juf/parade.id)