Jakarta (PARADE.ID)- Isu komunis tiba-tiba mencuat kembali di tengah penolakan terhadap RUU HIP. Jika dicermati, pandangan miring terhadap RUU HIP ini setidaknya ada lima alasan yang menjadi kecurigaan oleh sebagian kelompok penolak RUU tersebut.
Di antaranya, pertama RUU HIP dicurigai telah mengingkari sejarah dimana Pancasila merupakan konsensus para pendiri bangsa. Kedua, RUU HIP dipandang bermasalah secara substansi dan urgensi.
Ketiga, RUU HIP dicurigai ingin mengubah Pancasila yang rumusan sila-silanya terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Keempat, RUU HIP dinilai bisa mengacaukan sistem ketatanegaraan. Dan kelima, RUU HIP dicurigai untuk menghidupkan kembali ajaran komunis.
“Saya pribadi termasuk salah satu orang yang mengkritik RUU HIP secara substansi. Empat alasan masih memiliki argumen yang bisa diterima. Namun untuk alasan kelima, yang mencurigai RUU HIP bertujuan menghidupkan kembali komunisme masih menimbulkan perdebatan dari aspek substansi,” demikian kata Karyono Wibowo, peneliti Indonesian Public Institute (IPI), beberapa waktu lalu melalui webinar yang dihadiri oleh 22 orang.
Menurut Karyono, tuding itu belum cukup kuat. Sejumlah alasan yang dikemukakan merupakan tafsir sepihak. Alasan yang mengemuka adalah karena tidak dimasukkannya TAP MPRS XXV Tahun 1966 ke dalam konsideran mengingat dalam draf RUU HIP.
“Meskipun dalam konteks hukum dan kebebasan berpendapat, tidak ada larangan orang bercuriga terhadap sesuatu, tetapi dalam konteks hukum belum cukup kuat untuk dijadikan alat bukti bahwa RUU HIP terbukti menghidupkan kembali komunisme,” lanjutnya.
Bisa dikatakan, masih menurut dia, alasan tersebut masih sebatas suuzon atau cenderung masih imajinatif. Alasan secara substansi dan detail yang menjelaskan tentang peluang dihidupkannya kembali faham komunis juga masih bias, kecuali alasan tidak dimasukkannnya TAP MPRS 25 Tahun 1966.
“Dalam perspektif hukum, alasan tersebut masih belum kuat. Apalagi ketika dihadapkan pada sebuah realitas bahwa aturan yang melarang penyebaran ajaran komunis belum dicabut yang berarti masih berlaku. Faktanya, TAP MPR No.1 Tahun 2003 menetapkan TAP MPRS 25 Tahun 1966 dinyatakan masih berlaku dengan catatan mempertimbangkan Hak Azasi Manusia dan Demokrasi,” tegasnya.
Menurut dia, yang perlu diketahui publik dalam proses pengambilan keputusan di parlemen, semua fraksi setuju termasuk Fraksi PDIP ikut menyetujui penuh TAP MPRS XXV /1966 dinyatakan tetap berlaku. Selain itu, larangan penyebaran ajaran komunisme/Marxisme/Leninisme juga ditegaskan dalam Pasal 107a, 107c, 107d dan 107e UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA.
“Faktanya UU ini masih berlaku,” sambungnya.
“Pertanyaannnya kemudian yang muncul adalah: apakah dengan tidak dimasukkannya TAP MPRS XXV ke dalam konsideran mengingat RUU HIP otomatis bisa menggugurkan TAP MPRS XXV Tahun 1966 dan UU No.27 Tahun 1999? Atau hanya kekuatiran yang berlebihan? Atau alasan RUU HIP ingin menghidupkan kembali ajaran komunisme sekadar komoditas politik?” tanyanya.
Sebelumnya, kecurigaan tersebut sejak awal diarahkan ke PDIP karena dianggap sebagai partai pengusul. Isu penolakan RUU HIP akhirnya berkembang semakin liar dan dikapitalisasi untuk tujuan politik.
Propaganda isu komunisme dilekatkan kembali kepada PDIP. Aksi pembakaran bendera PKI dan PDIP di depan gedung DPR seolah mengafirmasi bahwa isu komunisme di RUU HIP adalah bagian dari propaganda untuk membangun stigma komunis di dalam tubuh PDIP.
Dalam acara yang bertajuk “Masih Relevankah Isu Komunis Dalam Rancangan RUU HIP” hadir selain Karyono di antaranya, pengamat politik Boni Hargens, tokoh agama Gus Saleh, Ahmad Latupono. Dimoderatori oleh Nadia Yulianda Putri.
(Lendi/PARADE.ID)