Jakarta (parade.id)- Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan pernyataan politik pedas pada Sabtu (26/7/2025) melalui akun media sosialnya, mengkritik lambatnya respons komunitas internasional terhadap empat isu global yang dinilainya krusial.
SBY secara tegas menyebut respons dunia terhadap situasi Gaza sebagai “sangat terlambat,” meski mengapresiasi empat negara Eropa anggota G7 – Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia – yang akhirnya menyerukan pengakhiran perang.
“Makin banyak negara yang mulai bersuara bagi pengakhiran perang maupun penderitaan kemanusiaan yang ekstrem di Gaza. Meskipun hal ini sudah sangat terlambat, tetapi tetap ada baiknya,” cuit SBY.
Dalam nada yang tajam, SBY mempertanyakan kenyamanan para pengamat konflik: “Mungkin yang menonton drama kehidupan di Gaza dalam keadaan nyaman di ruangan ber-AC sambil menikmati kopi dan makanan lezat, sementara yang ditonton adalah mereka yang untuk makan dan minum sebagian tidak bisa, serta dalam ancaman keselamatan jiwanya.”
Mantan presiden keenam RI ini menyambut positif pengakuan Prancis terhadap kemerdekaan Palestina, namun implisit mempertanyakan mengapa baru sekarang. Menurutnya, kebijakan Prancis ini bisa menjadi “jembatan” untuk solusi dua negara, meski ia pesimistis dengan kompleksitas perjalanannya.
“Saya tahu jalan yang mesti ditempuh masih panjang dan tidak semudah yang dipikirkan banyak kalangan. Tetapi hal ini tetap dimungkinkan,” katanya dengan nada hati-hati.
Poin paling kritis SBY tertuju pada konflik bersenjata Kamboja-Thailand yang disebutnya sebagai “kemunduran” (set back) bagi ASEAN setelah hampir 60 tahun membangun reputasi sebagai model kerja sama regional.
“Terus terang ini sebuah kemunduran dari kisah sukses ASEAN,” ungkap SBY dengan nada kecewa. “Terjadinya eksodus penduduk di perbatasan kedua negara dalam jumlah besar tentu bukan pemandangan yang indah bagi ASEAN.”
SBY kemudian menyinggung keberhasilannya sebagai mediator pada 2011, ketika ia berhasil meredam konflik serupa selama 14 tahun. Pernyataan ini dapat dibaca sebagai kritik terhadap kepemimpinan ASEAN saat ini yang dinilai kurang efektif.
Soal negosiasi tarif AS-Uni Eropa, SBY mengajukan pertanyaan filosofis yang menohok: “Benarkah perang tarif ini harus menjadi order of the day? Adakah cara lain yang bisa ditempuh?”
Pertanyaan ini secara implisit mengkritik kecenderungan dunia yang lebih memilih konfrontasi ekonomi ketimbang diplomasi konstruktif.
Keseluruhan pernyataan SBY mencerminkan frustrasi seorang negarawan senior terhadap lambatnya respons diplomatik dunia. Kritiknya terhadap mereka yang “menonton dari ruangan ber-AC” tampak menunjuk pada ketidakseriusan elite global dalam menangani krisis kemanusiaan.
Menariknya, SBY menutup pernyataannya dengan seruan untuk “berpikir dan berbicara secara jernih, jujur dan konstruktif” – sebuah sindiran halus terhadap diplomasi yang dinilainya masih berkutat pada retorika kosong.
Pernyataan ini menunjukkan SBY tetap aktif dalam diskursus politik internasional, meski dengan nada yang semakin kritis terhadap efektivitas institusi-institusi global yang ada.*