Jakarta (PARADE.ID)- Kita kehilangan salah-satu penulis besar. Pergi. Hari ini. Dan tidak akan kembali lagi.
Kalian tahu, apa yang menyedihkan saat penulis pergi? Kita tidak bisa lagi menunggu-nunggu tulisannya. Jangankan sebuah buku, jangankan sepotong sajak yang indah nan menggugah, bahkan satu huruf pun tak ada lagi.
Seperti menunggu di halte bus saat pagi lengang. Kabut mengambang, dan kita tahu persis, tidak ada lagi bus yang akan datang di sana. Sudah selesai.
Tapi tidak mengapa. Karena kalian harus tahu, apa yang selalu membuat tersenyum saat penulis pergi? Tulisannya. Legacy. Warisan. Penulisnya boleh jadi sudah pergi, tapi ‘usia’ tulisannya bisa panjang sekali.
Maka kenanglah sajak hebat nan elok itu,
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Atau sajak yang satu ini,
“Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.”
Selamat jalan, Pak Sapardi Djoko Damono.
*Dari pembaca tulisan Pak Sapardi, Tere Liye