Jakarta (parade.id)- Bulan November adalah bulan Upah bagi kaum buruh Indonesia, begitu juga bulan November tahun ini (2024) sebagaimana aturan yang berlaku dan kebiasaan bahwa pada tanggal 17 November adalah batas akhir waktu untuk Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan pada tanggal 21 November adalah batas akhir waktu untuk Penetapan Upah Minumum Kota/Kabupaten (UMK). Lebih istimewanya serta kemendesakkannya November tahun ini semakin nyata dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI perkara nomor 168/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada tanggal 31 Oktober 2024.
Mahkamah Konstitusi (MK) RI dalam putusanya menyatakan beberapa pasal dalam Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 setidaknya ada 21 amar putusan yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat “sepanjang tidak dimaknai…”. Arti penting dari putusan MK ini adalah adanya pembatalan sebagian aturan, mengoreksi beberapa pasal, mengembalikan aturan yang sudah dihilangkan oleh omnibus law Cipta Kerja sehingga berimplikasi pada pasal-pasal yang terdapat dalam kluster ketenagakerjaan harus mengalami perubahan dan perbaikan. Salah satunya yang mendesak aturan untuk Penetapan Upah Minimum (UM).
Berikut adalah pasal terkait Upah Minimum (UM) dalam putusan MK no.168:
1. Pasal 88 ayat 1, dalam pasal 81 angka 27 lampiran UU No. 6 Tahun 2023. Pada pokoknya Pemaknaan Penghidupan Layak bagi kemanusiaan, harus termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
2. Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2023. Pada pokoknya dalam penetapan upah minimum harus melibatkan dewan pengupahan daerah yang didalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.
3. Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Pada pokoknya dalam hal penetapanya Upah Minimum Sektoral (UMS) Gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Sektoral (UMS) pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota.
4. Pasal 88 D ayat 2, dalam pasal 81 angka 28 lampiran UU No. 6 Tahun 2023. Pada pokoknya mengenai “Indeks Tertentu” ia harus berlaku sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh.
Dalam pengertian lain pasal ini mengandung arti bahwa penerapan “Indeks Tertentu” tidak seperti yang berlaku dalam rumusan formulasi yang sebelumnya yang ditetapkan oleh pemerintah dalam PP 36 Tahun 2021 jo PP 51 Tahun 2023.
Membaca dan memahami putusan MK no. 168 menyangkut Upah Minimum (UM) pada intinya Mahkamah Konstitusi (MK) RI menyatakan:
1. Seluruh kebijakan pemerintah dalam menetapkan Upah Minimum sejak tahun 2021 yang didasarkan pada UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 jo Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 jo Perturan Pemerintah No. 51 Tahun 2023 adalah kebijakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum yang mengikat. Sebab Tidak mencakup termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
2. Dimasukkannya unsur Indeks Tertentu yang disimbolkan “a” dalam rumusan formulasi penghitungan penetapkan Upah Minimum (UM), Mahkamah menyatakan bahwa Indeks tertentu yang dimaksudkan pemerintah sebagai variable yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai prinsip proposionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi buruh.
Hal ini terbukti sejak 3 tahun terakhir rata-rata upah minimum buruh Indonesia terus mengalami defisit terhadap harga-harga kebutuhan pokok berlaku, sebagaimana data BPS tahun 2021 s.d 2023 tercatat kondisi upah riil buruh secara berturut-turut mengalami defisit rata-rata sebesar Rp.306.000/bulan – Rp.526.000/bulan dalam setiap tahunnya.
Sementara unsur “a” yang nilainya ditetapkan dari rentang 0,1 – 0,3 dalam rumus penghitungan dan penetapan upah minimum (UM) sebagai faktor perkalian terhadap pertumbuhan ekonomi (PE x a) hal ini menyebabkan hasil dari perhitungan tersebut menghasilkan unsur “a” menjadi faktor pengurang nilai dari Pertumbuhan Ekonomi (PE). Perumusan Indeks Tertentu pada akhirnya semakin menambah beban upah minimum terhadap harga-harga kebutuhan pokok berlaku, karena berlaku mengurangi nilai dari pertumbuhan ekonomi (PE). Itulah salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan upah minimum selalu rendah.
Kebijakan pengupahan sejak orde baru terlebih sepanjang 10 (sepuluh) tahun terakhir di bawah kekuasaan rezim Joko Widodo (Jokowi) nyata mempertahankan politik upah murah (rendah) dan perampasan upah, upah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua, mengabaikan masalah disparitas upah minimum antar daerah yang terus semakin melebar dan tidak pernah dapat dikendalikan oleh pemerintah.
Dan GSBI meyakini bahwa semua aturan pengupahan yang ada saat ini tidak akan membuat kenaikan upah buruh secara signifikan, tidak akan bisa menjawab masalah disparitas upah dan diskriminasi upah, buruh upahnya tetap akan mengalami defisit dari tahun ketahun. Karena aturan yang ada hanya mengotak-atik rumus (formula) yang hakekatnya melanggengkan poltik upah murah (rendah) dan perampasan upah serta menjalankan pengupahan sistem kapitalisme monopoli.
Maka dalam penetapan upah minimum (UM) tahun 2025, dengan memperhatikan putusan Mahkamah Kontitusi (MK) RI no. 168 dan kondisi riil buruh serta upah buruh Indonesia, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menuntut : 1. Bahwa penetapan upah minimum (UM) tahun 2025 jangan menggunakan PP 36 Tahun 2021 jo PP 51 Tahun 2023 sebagai dasar rujukan hukumnya. Karena jika tetap menggunakan aturan tersebut sama saja mempertahankan defisit upah riil buruh, sama saja mempertahankan disparitas upah yang sangat tinggi antar daerah dan melanggengkan politik diskriminasi upah.
Bahwa jika merujuk dan berdasarkan putusan MK-RI no.168 sesungguhnya dengan sendirinya telah membatalkan hal substansial dari PP 36 Tahun 2021 jo PP 51 Tahun 2023 atau tidak berlaku secara hukum. Sehingga siapapun tanpa terkecuali yang dalam penetapan upah minimum (UM) tahun 2025 masih mempertahankan PP 36/2021 jo PP 51/2023 serta mengajak dan berprinsip bahwa besaran nilai “a” adalah sesuai dengan PP 36 Tahun 2021 jo PP 51 Tahun 2023 berarti mereka dengan sengaja dan dengan sadar mengajak untuk membelakangi, mengabaikan, serta menolak dan melawan putusan MK no.168.
Maka jikapun penetapan upah minimum (UM) tahun 2025 harus tetap menggunakan rumus PP 36/2021 jo PP 51/2023 karena kemendesakan maka GSBI meminta:
A. Rumus (formulasi) perkalian terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PE) diganti dengan rumus (formulasi) pertambahan “(PE x a) diganti menjadi (PE + a)” dan nilai dari “a” besaranya juga harus di ubah dalam rentang diatas dari angka 1 (satu).
B. Tidak boleh ada penetapan besaran Upah Minimum (UM) untuk sektor tentu (dalam hal ini untuk Sektor Industri Padat Karya) yang nilainya lebih rendah dari Upah Minimum (UM). Bahwa Upah Minimum (UM) yang ditetapkan adalah berlaku bagi seluruh buruh dan seluruh sektor industri dengan tanpa membedakan status kerja. Upah untuk sektor Industri tertentu (termasuk padat karya) ditetapkan kemudian besarannya melalui Upah Minimum Sektoral (UMSP/K) yang besarannya harus di atas Upah Minimum (UMP/UMK).
2. Bahwa solusi atas masalah dan sistem pengupahan – upah minimum (UM) di Indonesia adalah diberlakukannya Upah Minimum Nasional (UMN). Upah Minimum Nasional (UMN) yang dimaksudkan GSBI adalah sistem pengupahan dasar (terendah) – jaring pengaman- yang dibayarkan kepada buruh yang tidak dikecualikan dan tidak boleh dinegosiasikan, berlaku secara nasional untuk buruh dengan masa kerja nol sampai dengan satu tahun, yang ditetapkan langsung oleh pemerintah pusat (nasional) dengan tetap melibatkan partisipasi serikat buruh, asosiasi pengusaha melalui dewan pengupahan nasional.
Meskipun berlaku upah minimum nasional (UMN), masing-masing daerah provinsi, kota dan kabupaten dapat menetapkan dan memberlakukan upah minimum provinsi, kota atau kabupaten sendiri yang melewati persyaratan upah minimum nasional (UMN). Artinya besaran upah minimum provinsi, kota dan kabupaten tidak boleh lebih rendah dari upah minimum nasional (UMN) yang ditetapkan dan diberlakukan pemerintah pusat (nasional).
Adapun rumus dalam menetapkan besar Upah Minimum Nasional (UMN) adalah: PDB Nasional Tahun berlaku dibagi Jumlah Penduduk Tahun berlaku, dibagi 12 (dua belas) bulan, di tambah dengan nilai proyeksi Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi tahun berikutnya” Maka itulah besaran Upah Minimum Nasional (UMN). GSBI percaya bahwa berdasarkan kajian, dengan ditetapkannya Upah Minimum Nasional (UMN) maka ketimpangan (disparitas) upah dan diskriminasi upah yang terjadi dan berjalan puluhan tahun hingga saat ini akan teratasi (bisa di jawab).
Sekaligus bahwa penerapan konsep UMN ini adalah bentuk nyata implementasi dari Konstitusi UUD 1945 dan Pancasila, bentuk nyata negara hadir dan memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Penerapan UMN juga dapat dipastikan akan mendorong tingkat produktivitas, pertumbuhan ekonomi yang inklusif di setiap daerah dan nasional. Karena sesungguhnya tenaga kerja (buruh) adalah subjek sekaligus objek dari pembangunan. Kegiatan pembangunan pada akhirnya adalah untuk manusia dan manusia yang bekerja akan kembali menghadirkan pembangunan yang lebih baik lagi.
3. MENYERUKAN kepada seluruh DPD GSBI, DPC GSBI dan Serikat Buruh Anggota (SBA) – GSBI serta seluruh anggota untuk mempelajari, melakukan studi tentang putusan MK no. 168, termasuk catatan penting GSBI atas putusan MK no.168. Terus memperhebat perjuangan untuk kenaikan Upah Minimum (UM) tahun 2025 di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing sesuai dengan garis perjuangan dan Instruksi organisasi hingga pada angka kenaikan yang maksimal, dengan berbagai taktik, termasuk dengan loby dan aksi-aksi, membangun dan/atau bergabung dengan Aliansi/Front yang sehaluan dalam tuntutan dan isu yang diperjuangkan.
Termasuk untuk secara aktif mempromosikan konsep UMN GSBI sebagai solusi atas masalah pengupahan di Indonesia.
*DPP GSBI