Jakarta (PARADE.ID)- Dalam pandangan saya, sistem politik demokrasi kita yang cenderung ‘menang-menangan’ ternyata mendatangkan banyak madharatnya sendiri.
Apalagi di negara kita yang masyarakatnya belum sepenuhnya paham politik, di AS saja yang masyarakat terdidiknya lebih besar, demokrasi bebas membelah masyarakat dan menciptakan polarisasi.
Demokrasi terbuka yg dirancang utk saling berkompetisi memang mendorong situasi politik menjadi lebih dinamis, parpol serta politisi saling bersaing adu visi & strategi utk mendapatkan dukungan masyarakat. Tetapi harus diakui semua itu mendatangkan problem yg tidak sedikit juga.
Karena ukurannya hanya menang-kalah, banyak-banyakan mendapatkan suara, tak jarang politisi melakukan segala cara, yang penting menang. Politik transaksional yang pragmatis pun tak terhindarkan.
Masyarakat dibelah dengan logika ‘us vs them’, yang sama dukungannya adalah kawan, yang berbeda menjadi lawan. Ini besar risikonya dalam jangka panjang bagi bangsa ini.
Kita melihat sendiri dalam banyak pemilu, pilkada dan pilpres, sistem pemilihan terbuka membuat banyak politisi digerakkan dengan moralitas menan-kalah saja, akibatnya gagasan dan idealisme berbangsa dan bernegara sering dikorbankan.
Padahal kunci sukses demokrasi adalah berpegang pada nilai-nilai dan moralitas itu, bukan hanya kompetisi menang-kalah yang ‘zero sum game’.
Lebih repot lagi, setelah pertarungan selesai, ternyata para elit tetap bersatu untuk kekuasaan. Sementara masyarakat masih terbelah. Ongkos sosialnya besar sekali. Layak kita diskusikan bersama, bagaimana format terbaik kedepan?
Apa yang sebenarnya dimaksud oleh para founding fathers kita dengan demokrasi yang ‘musyawarah mufakat’ dan sistem perwakilan itu?
Saya kira kita perlu serius memikirkan ini bersama-sama. Jangan sampai soliditas bangsa terus terkoyak.
Melanjutkan diskusi kita sebelumnya bahwa kita perlu memikirkan ulang format penyelenggaraan politik demokrasi kita, saya akan menambahkan beberapa poin.
Kita belajar dari rangkaian pemilihan umum yang lalu. Termasuk pileg & pilpres 2019 serta pilkada serentak 2020.
Masih jelas di ingatan kita bagaimana ribuan korban petugas KPPS meninggal dunia, masyarakat terbelah dukungan politiknya dengan sentimen bernuansa SARA, hasil pemilihan yg menghasilkan rangkaian demonstrasi yg sempat rusuh. Politik kita jd tegang. Terlalu besar ongkos sosialnya.
Namun, apa hasilnya? Melebarnya kesenjangan sosial, terkoyaknya rasa kebangsaan, rasa saling membenci di tengah masyarakat, bahkan distrust terhadap pihak yang menang.
Di sisi lain, ternyata elit tetap cenderung berpikir kekuasaan saja. Dukungan kental dari masyarakat yang hampir membelah soliditas berbangsa, ternyata berakhir mengecewakan dengan bergabungnya pihak-pihak yang bersaing jadi satu kubu juga.
Untuk apa bertarung dengan ‘cara zero sum game’, jika toh capres-cawapres yang kalah kini berada di pemerintahan yang sama juga.
Sekali lagi, saya merasa kita harus mendiskusikan ulang format demokrasi dengan pemilihan terbuka ini. Paling tidak memperbaiki tata kelolanya. Format penyelenggaraan pemilunya. Jangan sampai ke depan masyarakat jadi korban saja, ongkos sosial yang harus dibayar mahal sekali!
Pasti ada maksud tersendiri dulu para ‘founding fathers’ merumuskan format politik kita sebagai ‘musyawarah mufakat’ dan sistem perwakilan. Tidak kompetisi terbuka yang ‘menang-menangan’ itu.
Bahkan masyarakat yang minoritas sekalipun, yang bukan kelompok mayoritas secara suku, agama, ras dan antargolongan pun ada perwakilannya.
Bagaimana seharusnya ke depan? Ini layak untuk kita diskusikan.
#PerspektifBangZul #ZulHas #OpiniBangZul
*Ketum PAN Zulkifli Hasan