Jakarta (PARADE.ID)- Belangan ini penegakan hukum dan keadilan di Indonesia menuai banyak kritikan berbagai kalangan, terutama datang dari insan hukum maupun para pejuang keadilan itu sendiri. Keresahan mereka itu mungkin mewakili sekitar 270 juta rakyat di seluruh indonesia dari Sabang sampai Merauke yang ikut memprihatin terkait penegakan hukum dan keadilan kita yang saat ini sedang berada di tebing jurang yang curam, sedikit saja tergelincir bisa berakibat fatal.
Tapi anehnya itu tidak membuat khawatir dan takut para elit yang berada dalam episentrum kekuasaan maupun mereka yang berkantong tebal dan banyak uang, malah seakan berlari kencang dan berlomba untuk memastikan penegakan hukum dan keadilan itu telah mati terkubur oleh perilaku mereka yang biadab dan tak bermoral. Persoalan ini akan terus hidup dan tumbuh subur di segala musim.
Terkait hal diatas saya menyetir pendapat Prof. Mahfud MD yang pernah dikemukan sudah hampir satu dekade yang menyebut, bahwa keadilan di Indonesia sedang mati suri, karena keadilan tidak berdiri tegas. Siapa yang mempunyai uang bisa membeli hukum.
Penegakkan hukum dan keadilan kalau tidak tegak, meskipun tidak diserang negara lain negara akan hancur dengan sendirinya seperti rumah pasir di tepi pantai. Mungkin Prof.Mahfud MD saat ini masih merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan pada saat itu, atau barang kali sudah amnesia, karna terlalu nyaman dengan jabatan politik dan kekuasaan. Pendapat itu bisa salah atau mungkin juga benar. Penulis garis bawahi sekarang ini Mahfud sedang menjabat sebagai Menkopolhukam dalam kabinet Indonesia maju yang menjadi tumpuan harapan publik untuk perbaikan penegakan hukum dan keadilan. (Republika.co.id, 27/01/2013).
Pesan Mahfud diatas masih sangat relavan kalau kita lihat dan perhatian fenomena saat ini. Masih banyak penegakan hukum bisa diatur kiri-kanan oleh kekuatan uang dan politik, makanya kerap kali ada pejabat dan elit mendapatkan hukuman yang rendah tak sesuai dengan perbuatannya. Giliran rakyat biasa kelas bawah mendapati persoalan hukum, kandang relatif sulit mengakses keadilan dan selalu diberi hukuman yang tinggi.
Diskon Hukuman
Mungkin masih segar dalam memori kolektif publik tentang fenomena diskon putusan dalam ruang peradilan. Saya sebut saja kasus terbaru yang mendapat perhatian serius dari masyarakat; kasus mantan pejabat Kejaksaan Agung, Pinangki Mirna Malasari, pengusaha Djoko Tjandra, mantan menteri Sosial RI, Juliari Batubara dan masih banyak lagi kasus serupa yang dinilai sangat jauh dari rasa keadilan.
Bahkan melecehkan lembaga keadilan yang lazim disebut dalam bahasa hukumnya, contempt of court (Baca UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). Proses dalam persidangan itu seperti drakor (drama Korea) yang memang sengaja di seting agar seolah terlihat seperti biasa, tapi sebenarnya dibalik itu kita boleh menduganya ada deal dan pembicaraan khusus antara terdakwa dengan aparat penegakan hukum maupun mafia peradilan.
Penguatan pendapat tersebut terkonfirmasi dalam putusan vonis Pinangki, Djoko Tjandra dan Juliari.
Setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 8 Februari 2021 memvonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurungan, banding dari Pinangki malah diterima Pengadilan Tinggi Jakpus dengan mendiskon putusan hakim PN jadi hanya 4 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurang (Republika, 14/06/2021).
Pertimbangan hakim menghukum lebih rendah Pinangki ini alasannya sangat lucu dan sulit diterima akal sehat publik.
Selain Pinangki, ada juga Djoko Tjandra yang telah divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus suap penghilangan status ‘red notice’ Interpol, namun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi masa hukuman tersebut menjadi 3,5 tahun.
Penulis mengutip situs resmi Mahkamah Agung (28/07/2021), pengadilan menyatakan dalam amar putusannya menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3,6 Tahun dan pidana denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Putusan tingkat banding ini keluar pada 21 Juli 2021.
Drama hukum ini masih berlanjut dan seolah tak pernah berakhir. Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhi vonis 12 tahun penjara terhadap Juliari Batubara mantan Menteri Sosial dalam kasus bansos Covid-19. Vonis hukuman tersebut harusnya jauh lebih tinggi mengingat dalam waktu yang bersamaan masyarakat Indonesia sedang berduka atas musibah meniggalnya ratusan ribu rakyat akibat Covid-19.
Janji presiden RI dan Ketua KPK menghum berat koruptor dana Covid-19 hanya sekedar retorika untuk pemanis bibir dan realisasinya nol besar. Satunya kata dan perbutan ibarat jauh Bumi dan Langit. Harusnya pemimpin itu komitmenya yang di pegang, dan jangan sampai rakyat menyebutnya pemimpin tukang ingkar janji.
Lemah Penegakan Hukum
Tak sepenuhnya salah ada yang menilai, bahwa penegakan hukum kita saat ini sangat lemah dan tumpul kalau di lakukan kepada elit maupun orang yang punyak akses kekuasaan, tapi giliran rakyat biasa terkadang hukum itu sangat tajam. Sebaik apapun produk hukum kita selama mereka yang menjalankannya itu tidak memiliki integritas dan moralitas, jangan berharap akan mendapatkan nilai keadilan.
Hukum di Indonesia kerap kali menjadi instrumen untuk mengumpulkan harta dan kekayaan serta juga sebagai palu godam untuk menghajar lawan-lawan politik yang tak sejalan dengan rezim yang berkuasa. Sebenarnya dari sisi tersebut tidak ada bedanya rezim orde baru yang otoriter dan korup dengan penguasa saat ini, sama-sama memanfaatkan hukum sebagai bandul politik, karena akhir-akhir ini kerap kali kita dengar ada rakyat kecil mengambil singkong di kebun milik orang lain hanya sekedar untuk memenuhi isi perutnya yang lapar malah berbuah kriminalisasi.
Bukan saja itu, masih banyak lagi contoh kasus y serupa yang menimpa rakyat miskin. Mungkin itulah lemahnya penegakan hukum dan keadilan kita, dan ini salah satu faktor membuat Indeks demokrasi Indonesia beberapa tahun ini menurun drastis.
Menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) mengenai Indeks Demokrasi 2020, tercatat Indeks Demokrasi di Indonesia turun dari skor 6,48 di tahun 2019 menjadi 6,3 di tahun 2020 dan merupakan yang terendah selama 14 tahun terakhir. Bahkan, skor tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dari 167 negara dunia (Detikcom,10/3/2021).
Membaca laporan EIU ini sangat kontras dengan sebutan negara demokrasi terbesar ketiga didunia, dibawah Amerika dan India. Selama ini pemerintah kita dalam berbagai forum dunia selalu membanggakan demokrasi Indonesia, tapi faktanya sangat jauh dari harapan (Kominfo RI, 28/10/2020).
Janji Keadilan
Sebelum negera Indonesia berdiri para pejuang bangsa kita terdahulu sudah merumuskan bersama janji keadilan yang di tuangkan dalam konstitusi dan butir pancasila kelima “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dan saat ini janji keadilan hanya sekedar pamanis dan jualan di setiap momen politik.
Setelah mereka masuk dalam kekuasaan dan mengelola negara jangan berharap mereka akan merealisasikan janji keadilan, justru mereka mengejar untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Makanya jangan heran ada 10 orang kaya di Indonesia menguasai hampir diatas 50 persen kekayaan total penduduk Indonesia.
Menurut data yang di dirilis oleh Credit Suisse dalam Global Wealth Report 2018 sangat mencengangkan dan menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di tanah air. Sementara 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk.
Artinya pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam rentang waktu kurang lebih satu dekade terkahir ini hanya dinikmati oleh segelintir orang berkantong tebal. Kondisi ini secara tidak langsung mengkonfirmasi bahwa disparitas atau ketimpangan kekayaan di Indonesia masih terbilang tinggi dan suatu saat akan menjadi masalah yang serius di kemudian hari.
Sebelum mengahiri tulisan ini saya berharap penegakan hukum dan keadilan kita benar-benar ditegakan, dan juga para mafia peradilan harus diberantas sampai keakarnya. Selain dari itu kekayaan Indonesia harus didistribusikan secara merata dan berkeadilan agar anak-anak bangsa kita mendapatkan kesehatan dan pendidikan yang layak.
Bagi mereka yang mengemban jabatan publik harus menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi bangsa dan negara, bukan ikut mengubur nilai keadilan yang telah lama diperjuangkan oleh para bapak bangsa kita terdahulu. Mereka rela hidup melarat dari pada memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri, dan itu dibuktikan oleh bapak bangsa dan pahlawan nasional Indonesia, H.Agus Salim melalui pesanya, leiden is lijden, memimpin itu menderita.
*Sahrul Ramadhan
Koordinator Fakta Indonesia/Forum Aktivis Anti Mafia Indonesia