Jakarta (PARADE.ID)- J.B Sudarmanto (2006) menyebutkan bahwa riwayat pahlawan terdiri dari dua aspek yang saling terjalin, yakni fakta dan interpretasi (penafsiran). Fakta adalah kejadian-kajadian yang dialami oleh para pahlawan. Sedangkan interpretasi adalah usaha pemberian dan pencarian makna dari fakta tersebut.
Hasil pencarian makna itulah yang sampai saat ini terus berjalan. Pencarian makna pahlawan itu dalam bahasa lain adalah menjadikan pahlawan sebagai inspirasi untuk berbuat kebaikan, menjaga NKRI, meningkatkan kesadaran kebangsaan kita dan lain sebagainya.
Sebelum jauh menguak makna kepahlawanan untuk kemudian diambil sebuah keteladanan untuk menjadi NKRI, mari kita kulik lebih jauh tentang sejarah penjajahan bangsa ini. Mengapa bangsa Indonesia yang besar dengan wilayahnya yang luas bisa dibuat tak berdaya oleh pemerintah penjajahan Belanda?
Jawabannya terletak dalam sifat pluralistik bangsa Indonesia yang mudah diadu-domba dan masyarakatnya (masih) terpecah-belah. Alih-alih membangun kekuatan untuk mengusir penjajahan, bangsa Indonesia yang heterogen kala itu masih belum mengenal konsep persatuan sebagai satu kesatuan.
Konsep tanah air dan bangsa yang satu, yakni Bangsa Indonesia, belum tertancap dalam diri masyarakat Indonesia. Lebih lanjut, Sudarmanto (2006) menjelaskan beberapa kecenderungan masyarakat Indonesia kala itu:
Pertama, polarisasi sebagai cermin kecenderungan membentuk solidaritas primordial berdasarkan agama, budaya, suku dan lain sebagainya.
Kedua, spesialisasi dalam tujuan perjuangan, seperti tujuan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Kita paham bersama bahwa sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, perjuangan masyarakat Indonesia masih berdasarkan kewilayahan dan budaya saja.
Ketiga, dikotomi antara gerakan elitis dan kerakyatan.
Politik kolonial dengan atau tanpa taktik divide et empera tersebut di atas dengan mudah mematahkan gerakan nasionalis dalam keadaan itu sehingga pemerintah kolonial bisa bertahan selama ratusan tahun lamanya.
Membangkitkan Kesadaran Kebangsaan Kita
Masyarakat generasi saat ini, selain menghormati jasa para pahlawan, juga harus meneruskan perjuangan para pahlawan. Dalam bahasa lain, harus ada kesinambungan antara perjuangan para pahlawan dengan perjuangan masyarakat sekarang.
Ada banyak hal sebagai ejawantah atas perjuangan pahlawan di masa lalu dengan semangat perjuangan di era sekarang, seperti nasionalisme dalam bidang ekonomi. Lebih jauh lagi, menjaga NKRI dari serangan kelompok intoleran dan radikal.
Tentu semua itu akan bisa optimal jika kesadaran kebangsaan kita sudah berada dalam rel yang benar. Kesadaran itu bisa diasah dengan cara menyimak riwayat hidup seorang pahlawan. Dengan begitu, ia akan terinspirasi dan pada titik selanjutnya ia akan menemukan suatu sosok idola.
Pahlawan yang digali lebih dalam akan menjadi idola yang akan mempengaruhi sikap dan tindakan. Dan mengasah rasa kemanusiaan dan kebangsaan, yang keduanya merupakan modal utama untuk menjaga NKRI dari terpaan berbagai ancaman, dari ideologi transnasional hingga gerakan yang gemar menebar benih perpecahan.
Mendiang Soekarno pernah bertutur: “Hanya bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar.” Dari sini dapat dikatakan pula bahwa, tanpa “kesinambungan sejarah” dan pencarian makna kepahlawanan di masa kini, para pahlawan hanyalah seonggok nisan yang berjajar rapi namun bisu.
Tak Perlu Turun Aksi
Belakangan ini ada kecenderungan dari sebagian kalangan yang gemar memanfaatkan momentum-momentum bersejarah seperti Hari Sumpah Pemuda dan lainnya untuk turun aksi ke jalan. Tentu saja aksi di tengah pandemi seperti saat sekarang ini kurang tepat. Lebih-lebih jika aksi tersebut ternyata membawa misi politik jangka pendek.
Tentunya hal itu sangat bertentangan dengan spirit Hari Pahlawan. Sebab, para pahlawan adalah mereka yang memiliki kepedulian tinggi atas kondisi bangsa (rasa bangsa). Dalam pemikiran Bung Karno tentang rasa kebangsaan, dikatakan bahwa hal itu merujuk pada definisi Ernest Renan’s (1882) yang diimajinasikan serupa dengan roh kehidupan.
Tegas kata, turun aksi pada saat Hari Pahlawan bukanlah tindakan yang tepat, justru malah bertentangan dengan nilai-nilai kepahlawanan yang menyatukan dan mendamaikan. Karena aksi turun jalan yang dibalut dengan nafsu pragmatisme politik itu akan menimbulkan kemadlaratan yang lebih banyak.
*Mantan Ketum PP GPI/GPII 2010-2013
Rahmat Kardi