Jakarta (parade.id)- Diskusi dan buka puasa bersama Barikade 98 mengangkat tema “Merampok Indonesia Merobek Merah Putih Kita”, Kamis (20/3/2025), di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, menghadirkan Immanuel Ebenezer (Wamenaker), Feri Amsari (pakar hukum tata negara), Abraham Samad (eks Ketua KPK), Ray Rangkuti (pengamat politik), dan Erros Djarot (budayawan), sebagai pembicara. Masing-masing mereka memberikan pandangannya terkait tema yang diambil. Diawali oleh Abraham Samad.
Samad menyinggung cita-cita bangsa, yang belakangan atau 5 tahun terakhir dianggap tenggelam oleh sosok Jokowi, presiden ke-7. Samad mencontohkan KKN yang seperti dilanggengkan Pemerintahan Jokowi. Dan itu awalnya, kata Samad.
Samad bahkan mengatakan bahwa KKN dipertontonkan. Dinormalisasi (keadaannya). “Misal lewat Mahkamah Konstitusi (MK) yang dia (Jokowi) praktikan anak kesayangannya jadi wakil presiden,” kata Samad.
Sejurus, Samad melabeli Jokowi diktator. Kediktatoran Jokowi kata Samad karena ingin meniru rezim orde baru (orba) yang brutal tetapi tidak pernah diadili. Samad pun khawatir dengan Presiden Prabowo yang akan berlaku demikian karena dugaan alasan yang sama.
“Maka itu kita kawal Indonesia ini. Evaluasi seluruh kesalahan rezim Jokowi seperti pelanggarn HAM, KKN, dll,” tekan Samad.
Menurut budayawan, Erros Djarot, Samad mengatakan demikian karena memiliki data. Data yang boleh jadi menurutnya benar atau salah.
Namun, Erros meminta agar soal Jokowi tidak perlu lagi dibahas karena semua sudah tercatat. “Tinggal kasih saja data-datanya (ke Noel, Wamenaker Immanuel Ebenezer),” seloroh Erros.
“Noel, bantulah itu Abraham Samad untuk mengadili Jokowi,” imbuhnya.
Ketika disinggung soal itu, Noel lepas tawa kecil. Menurut dia, itu bagian dari kritik. Pun diakui dirinya, ketika mengkritisi Jokowi semasa menjadi presiden.
“Kritik itu penting. Dua periode Jokowi, saya juga kritik, seperti bansos,” kata dia.
“Saya juga punya hak pandangan seperti teman-teman di sini,” sambungnya.
Namun, ia seperti ingin menyinggung keadilan. Seperti parpol, mestinya kata dia juga dikritisi.
Sementara itu, pakar hukum tata negara, Feri Amsari menyinggung berita terkini, di mana RUU TNI disahkan DPR menjadi UU. Feri merasa atas hal itu, hukum kita berantakan. Ia mencontohkan kasus Letkol Teddy yang menduduki Seskab.
“Dahulu Mayor Teddy tidak boleh jabat di Seskab. Akhirnya duduk secara ‘haram’—yang sekarang (mau) ‘dihalalkan’ dengan ubah UU (TNI). Ini wajah supremasi hukum kita sekarang,” sesalnya.
Menurut Feri, militer yang benar tidak akan masuk ke urusan lain seperti politik, selain kemiliteran. “Tapi hari ini malah masuk ke kancah yang tidak sepatutnya seperti ekonomi, bisnis dan politik. Hampir semua di-back up oleh militer,” kata dia.
Mantan presiden Jokowi bertanggung jawab atas hal itu, kata dia. Namun, Presiden Prabowo pun kata Feri ikut bertanggung jawab karena momen tersebut terjadi di eranya, termasuk soal-soal lain seperti IHSG anjlok dan kasus Minyakita.
Mestinya hal itu kata Feri tidak terjadi kalau saja Prabowo mencegahnya. Tapi tampak malah sebaliknya.
“Kalau rakyat merasakan penderitaan atas hal-hal itu, gerakan akan muncul. Saya percaya kalau besok pagi ekonomi berbasis kepentingan elit maka akan mengubah sesuatu (gerakan),” pungkasnya.
Menurut pengamat politik, Ray Rangkuti, itu disebabkan oleh politik basa-basi. Tidak ajek. “Saatnya kita berpolitik ‘sumatra’. Saklek,” usul Ray.
“Seperti dinasti apakah dilarang atau tidak—jika tidak maka diperbolehkan—padahal aturan itu dibuat untuk kepentingan. Seperti sekarang RUU TNI jadi UU TNI yang berpolitik basa-basi. Kecuali jika sifatnya berhubungan dengan pertahanan,” sambungnya.
Akhirnya kata Ray, semua itu karena minus etika, termasuk adanya dinasti politiknya, yang anak jadi wapres, mantu jadi gubernur, dan anak jadi ketum parpol walau baru dua hari menjadi anggota. “Kalau ubah dinasti politik maka kita jangan berpolitik basa-basi dan dimulai dari diri sendiri,” tandasnya.
Diskusi diakhir dengan berbuka puasa bersama. Hadir dalam diskusi dan buka bersama itu ratusan orang.
(Rob/parade.id)