Jakarta (PARADE.ID)- Dalam melakukan perjuangan umat Islam Indonesia diperlukan ilmu dan hikmah. Ilmu dan hikmah itulah yang diberikan Allah kepada para Nabi dan orang-orang tertentu, sehingga mereka bisa melaksanakan aktivitas kehidupan dan perjuangannya dengan benar dan tepat.
Ingatlah kisah Nabi Yusuf a.s. Beliau sukses dalam menjalani aneka ujian kehidupan dan bahkan kemudian berhasil memegang posisi yang sangat tinggi dalam pemerintahan di Mesir. Nabi Yusuf dididik langsung oleh ayahnya sendiri dan meraih hikmah dalam pengalaman kehidupannya yang sangat dinamis.
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُۥٓ ءَاتَيْنَٰهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan ketika dia telah cukup dewasa Kami berikan kepadanya kearifan dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Yusuf: 22). (Dalam terjemah al-Quran terbaru oleh Kementerian Agama, kata “hukman” diterjemahkan dengan “kearifan”).
Dakwah Islam di Indonesia ini telah berlangsung selama ratusan tahun, sejak abad ke-7 M. Secara umum, dakwah di Indonesia meraih sukses yang sangat besar, karena berhasil menjadikan negeri yang semula 100 persen penduduknya bukan muslim, kemudian menjadi hampir 100 persen muslim.
Lebih hebat lagi, negeri seluas ini, seberagam ini dalam suku dan bahasa, berhasil disatukan dengan satu agama dan satu bahasa (Melayu). Ini bukan pekerjaan biasa. Ini adalah pekerjaan fantastis yang dilakukan oleh orang-orang hebat, khususnya para auliya dan ulama-ulama hebat.
Selama ratusan tahun, para ulama pejuang di Nusantara menyebarkan Islam dengan ilmu dan hikmah (dengan ilmu dan kebijakan/kearifan). Karena itu, generasi berikutnya, perlu memahami sejarah dakwah di Nusantara ini dengan baik. Jangan sampai dalam berjuang mengecilkan peranan dan keilmuan para ulama di Nusantara ini.
Misalnya, dalam soal pemikiran tentang kenegaraan. Para ulama Nusantara telah sangat memahami masalah ini. Sebagai contoh, dalam Muktamar NU ke-11, di Banjarmasin, 19 Rabi’ulawwal 1355 H (9 Juni 1936 M), dibahas satu masalah bertajuk: “Apakah Negara Kita Indonesia Negara Islam?” Ditanyakan, “Apakah nama negara kita menurut Syara’ agama Islam?” Jawabnya: “Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan “Negara Islam” karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama Negara Islam tetap selamanya.” Muktamar juga memutuskan, bahwa wilayah Betawi (Jakarta) adalah “dar-al-Islam”, begitu juga sebagian besar wilayah Jawa.
Mengutip Kitab Bughyatul Mustarsyidin bab “Hudnah wal-Imamah” dijelaskan: “Semua tempat dimana Muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah Islam (Dar-al-Islam.pen.) yang ditandai berlakunya syariat Islam pada masa itu. Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan “daerah perang” (dar-al-harb.pen.) hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa Tanah Betawi dan bahkan sebagian besar Tanah Jawa adalah “Daerah Islam” karena umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan oleh orang-orang kafir.”) (Lihat buku “Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004)”, terbitan LTN-NU Jawa Timur, cetakan ketiga, 2007, hlm.176-177).
Para ulama dan pemimpin Islam di Indonesia pun sangat memahami kondisi Kekhalifahan Turki Utsmani, sebelum dan sesudah kejatuhannya. Dalam Majalah “Pandji Islam” nomor 12 dan 13 tahun 1940, Soekarno menulis sebuah artikel berjudul “Memudakan Islam”, yang isinya memuji langkah-langkah sekularisasi yang dijalankan Musthafa Kemal Attaturk di Turki. Tokoh Islam A. Hassan mengritik keras pandangan Soekarno tentang kedudukan agama dan negara tersebut. Di Majalah yang sama ia menulis artikel berjudul “Membudakkan Pengertian Islam”.
Sejak zaman pra kemerdekaan RI, para ulama sudah menggagas ide negara Islam atau negara berdasar Islam. Tetapi, kondisi nyata di Indonesia memaksa para ulama dan pejuang di Indonesia, menerima kompromi yan diajukan oleh Bung Karno, yakni Piagam Jakarta dan UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945.
Meskipun kecewa dengan hilangnya “Tujuh Kata”, tetapi para ulama mendukung fatwa KH Hasyim Asy’ari, 22 Oktober 1945, bahwa mempertahankan kemerdekaan RI adalah wajib hukumnya. Begitu juga ketika dibuka peluang perjuangan melalui Pemilihan Umum tahun 1955. Para ulama paham benar tentang kelemahan sistem demokrasi. Namun, mereka tidak menyebut Indonesia sebagai “negara kafir”. Dan hampir seluruh kekuatan Islam ketika itu ikut serta dalam pemilu 1955. Dua partai Islam mendapat suara besar, yakni Masyumi dan NU.
Ketika upaya memperjuangkan dasar negara Islam terhenti melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka para ulama dan pemimpin Islam Indonesia pun sepakat dengan Dekrit itu. Tapi, perjuangan terus dilakukan agar ajaran Islam semakin tertanam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Di era Orde Lama dan Orde Baru, umat Islam Indonesia pun mengalami berbagai ujian yang tidak ringan. Rongrongan dan kejahatan oleh PKI serta upaya Kristenisasi, sekularisasi, dan nativisasi dijalankan dengan massif. Alhamdulillah, dengan ilmu dan kebijakan para ulama dan pemimpin umat Islam, upaya itu tidak sepenuhnya berhasil.
Kini, umat Islam Indonesia kembali menghadapi ujian yang tidak ringan. Dalam keadaan seperti ini, seyogyanya para pegiat dakwah Islam di Indonesia memperkuat tali silaturrahim dan menahan diri untuk “bergaduh” di ruang publik. Semua paham, bahwa perpecahan adalah pangkal kelemahan.
Jangan sampai kita mengulang sejarah kejatuhan Kota Jerusalem di tahun 1099 dan 1918. Tiga jenis utama penyakit yang melanda umat ketika itu: cinta dunia, kelemahan dakwah, dan perpecahan umat.
Sekali lagi, kita perlu belajar ilmu dan hikmah dari para ulama dan pejuang-pejuang Islam yang arif bijaksana di Nusantara ini. Kita jangan berpecah belah dan merasa berjuang sendirian. Ingat, Allah hanya cinta jika kita berjuang dalam shaff yang rapi, seperti satu bangunan yang kokoh. (QS ash-Shaff: 4). (Depok, 8 Agustus 2020).
*Pengasuh PP Attaqwa Adian Husaini/Hidayatullah