Jakarta (parade.id)- Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DEN KSBSI) menyebut regulasi ketenagakerjaan dan kenaikan harga BBM subsidi menyengsarakan buruh Indonesia. Demikian perihal aksi yang digelar hari ini oleh ratusan massa KSBSI di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Silang Monas, Gambir, Jakarta Pusat.
Menurut KSBSI, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), khususnya Klaster Ketenagakerjaan adalah nyata menyengsarakan nasib buruh karena mengurangi hak-hak buruh dan memperlemah posisi tawar serikat buruh.
“UU Cipta Kerja mendesain hubungan kerja kontrak seumur hidup, melegalkan outsourcing untuk seluruh jenis kegiatan usaha dan pekerjaan, menghilangkan upah minimum sektoral, membuat formula upah minimum yang menekan kenaikan upah dan memangkas pesangon,” demikian pers rilis yang diterima parade.id.
Di sisi lain UU juga mengatur ketentuan upah di “sektor informal” berdasarkan kesepakatan upah yang besarannya minimal 25 persen di atas garis kemiskinan atau 50 persen di atas rata-rata konsumsi.
“Semua hal tersebut, berimpilikasi pada penurunan penghasilan/pendapatan penduduk yang bekerja, dan tanpa sistim perlindungan sosial yang memadai, sehingga beresiko meningkatnya pengangguran dan kemiskinan yang pada gilirannya juga akan kembali menjadi beban bagi negara.”
Menurut KSBSI, UU Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan adalah bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan hakim Mahkamah Konstitusi. Selain itu, sejak Negara ini merdeka, mulai dari Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Megawati dan Bambang Yudoyono tidak pernah hak-hak buruh dan serikat buruh dikurangi, justru ditingkatkan/ditambah.
“Karena pengaturan hak-hak buruh erat kaitannya dengan aktivitas ekonomi dan distribusi kekayaan yang mendorong pada laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Indonesia,” masih bunyi pers rilis tersebut.
Bila pada awalnya UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk mengatasi berbagai persoalan sosial ekonomi yang dihadapi Indonesia (salah satunya bonus demografi) di masa yang akan datang; agar tidak terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (Midle Income Trap Countries), namun menilik isi ketentuan UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah dan aturan turunan lainnya, justru akan membuat Indonesia masuk dalam jebakan negera berpendapatan menengah.
“Atas fakta-fakta itu seharusnyalah Presiden Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menyatakan Klaster Ketenagakerjaan dikeluarkan dari UU Cipta Kerja dan dinyatakan tidak berlaku, serta dinyatakan pasal-pasal yang dihapus dan diubah dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) berlaku kembali.”
Fakta pengurangan hak-hak buruh itu terjadi juga dalam formula penghitungan kenaikan upah minimum sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP 36/2021) sebagai turunan UU Cipta Kerja. Dengan formula yang ditetapkan dalam PP 36/2021 kenaikan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 hanya 1,09 persen.
Jika formula dalam PP 36/2021 tetap dipertahankan maka dipastikan kenaikan UMP tahun 2023 hanyalah dikisaran 1 persen, sedangkan inflasi pada akhir tahun 2022 akan mencapai 6,7 persen (dan pertumbuhan ekonomi 5,5%), sehingga buruh akan minus 5,7 persen untuk biaya hidupnya.
“Karenanya, memakai formula dalam PP 36/2021 untuk perhitungan kenaikan upah tahun 2023 haruslah ditolak.”
Setidaknya menurut KSBSI haruslah memakai formula sebagaimana dahulu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Begitu juga pengaturan Upah melalui kesepakatan upah di sektor Informal harus di tolak, karena akan mereduksi pendapatan buruh/pekerja informal.
Pemerintah juga tidak boleh abai atas persoalan perubahan kultur kerja yang telah bergeser dari kerja formal menjadi kerja informal berbasis home industri dan ekonomi digital tanpa perlindungan yang memadai.
Peran serta pemerintah sebagai pemangku kebijakan sangat diperlukan untuk mencegah distorsi yang semakin dalam karena perbedaan antara kepentingan akumulasi laba yang dominan dan kepentingan untuk kondisi kerja layak pada sisi lainnya.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu didesak membuat regulasi perlindungan jaminan sosial secara menyeluruh, termasuk buruh digital/platform.”
Dengan pengurangan atau pendegradasian hak-hak buruh dalam UU Cipta Kerja, kenaikan upah buruh di tahun 2022 hanya 1,09 persen dan tiadanya perlindungan jaminan sosial bagi buruh digital/platform sebagaimana diuraikan di atas maka kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) haruslah ditolak.
“Kenaikan BBM akan semakin menyengsarakan hidup buruh dan keluarganya.”
Selain alasan tersebut di atas, kenaikan harga BBM akan menimbulkan efek domino negatif bagi buruh: inflasi tinggi sehingga daya beli buruh turun, biaya (energi) perusahaan akan naik yang berakibat terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Kemudian situasi ekonomi sebahagian besar rakyat Indonesia dalam kurun waktu dua tahun terakhir masih sangat terpuruk diakibatkan terpaan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia. Karenanya, KSBSI menolak kenaikan harga BBM.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa dampak dari perubahan iklim berupa pemanasan global telah mendorong beragam bencana alam di dunia, termasuk di Indonesia, sehingga penting untuk dikendalikan. Namun upaya pengendalian iklim melalui pengurangan emisi haruslah dilakukan dengan paradigma yang berkeadilan bagi buruh yang hubungan kerjanya terdampak.”
Jika perubahan iklim tidak dilakukan secara berkeadilan maka paling sedikit 6 juta buruh Indonesia yang bekerja pada sektor pertambangan (1,5 juta) dan kelapa sawit (4,5 juta) akan sengsara, karena terjadi PHK tanpa mendapat pekerjaan baru di sektor lain.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DEN KSBSI) mengajukan beberapa tuntutan. Di antaranya mendesak Presiden RI menerbitkan Perppu mengeluarkan Klaster Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja dan menyatakan pasal-pasal yang dihapus dan diubah dalam UU Ketenagakerjaan berlaku kembali.
Selanjutnya, menolak kenaikan upah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Kemudian, mendesak Pemerintah membuat regulasi perlindungan sosial yang adaptif berbasis sistim jaminan sosial yang menyeluruh bagi semua golongan buruh/pekerja, termasuk pekerja platform.
Selanjutnya, KSBSI menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Terakhir, mengingatkan Pemerintah untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim dengan mengatur dan menegakan keadilan iklim dan transisi yang adil.
Rilis tersebut ditandatangani Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban dan Sekjend Dedi Hardianto. Rilis disiarkan kemarin, Kamis (27/10/2022).
Aksi di sekitar Patung Kuda
Massa ratusan KSBSI melaksanakan aksi unjuk rasa terkait tuntutan di atas. Banyak orator yang berorasi pada aksi pagi-siang hari tadi.
Orator pertama diisi oleh Korwil KSBSI Banten Sisjoko. Dalam orasinya, ia meminta agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu sebagai pengganti UU Ciptaker.
UU Ciptaker menurut dia, telah sangat merugikan kaum buruh Indonesia, misal upah yang tidak naik.
“Malah justru BBM subsidi yang naik. Harga pun ikut naik. Jelas ini merugikan buruh. Kami ingatkan agar pemerintah tidak abai dengan aksi unjuk rasa KSBSI, karena, misal soal upah yang tidak naik maka daya beli buruh turun,” kata dia.
Kalau UU Ciptaker tetap dijalankan, maka kata dia nasib buruh Indonesia semakin suram. Nasib buruh akan merana dan melarat.
Orator lainnya, Sekjend DPP Nikueba Dwi Harto, ikut menyinggung soal upah. Menurut dia, upah yang tidak naik dan akan dibahas pada November nanti, diminta tidak menggunakan regulasi PP 36 (turunan UU Ciptaker).
Ciptaker melanggar regulasi karena status Omnibus Law yang inkonstitusional bersyarat. Pambahasan upah kata dia harus menggunakan PP 78.
“Kalau pemerintah menggunakan rumua PP 36, maka bisa dipastikan upah buruh takkan naik. Sebab ada batas atas-nya. Menggunakan sensus BPS.
Maka kami menolak penggunaan PP 36 sebagai regulasi upah untuk tahun 2023,” paparnya.
Ia mengingatkan pemerintah bahwa tidak menggunakan regulasi PP 36 dalam teknis pengupahan. Sebab regulasi tersebut dinilainya strategis—di mana bertentangan dengan inkonstitusional bersyarat.
Sementara itu, menurut Ketum KAMIPARHO, UU Ciptaker disebut telah mendegradasi buruh yang ada di Indonesia. Pemerintah tidak berpihak pada rakyat, buruh.
Dengan adanya UU ini, justru telah membuat celah kepada pemerintah mencari celah untuk mem-PHK buruh. Padahal, kata dia, UU Ciptaker cacat formil.
“Maka dari itu kita siap melawan, karena pemerintah tidak berpihak kepada buruh, rakyat Indonesia,” orasinya.
Bambang, Ketua DPC Nikueba menyebut UU Ciptaker produk kapitalis. UU yang bikin pekerja tidak berkutik. Pemerintah dan DPR pun dianggapnya tidak berpihak pada buruh, rakyat.
Ia pun menyinggung agar ke depannya buruh perlu mempertimbangkan untuk memilih atau tidak memilih mereka (pemerintah/DPR). Ia juga menyinggung Menteri Tenaga Kerja yang dianggapnya tidak mengerti keluhan buruh.
“Menteri juga tidak mengerti dengan kehidupan rakyat. Apa karena menteri datang dari partai politik? Tapi, kalaupun mengerti, datang dari partai politik, boleh. Tapi ini kan sebaliknya, tidak mengerti,” kata dia.
KSBSI kata dia akan terus melawan persoalan (Ciptaker) ini. KSBSI kata dia akan terus mengobarkan api perlawanan.
Orator terakhir, Rinaldi Ringoringo dari FKUI ikut menyinggung upah. Menurut dia, upah itu sangat penting. Apalagi, kata dia, bulan depan (November) kenaikan upah segera dibahas.
“Kalau tidak ada kenaikan sebagaimana mestinya (3-5%) kita takkan diam. Kita takkan memakluminya seperti memakluminya karena adanya (alasan) Covid-19. Jadi, jangan jadikan alasan untuk tidak menaikkan upah pekerja, karena itu omong kosong,” pintanya.
Sebelum massa membubarkan diri, perwakilan dari KSBSI diterima perwakilan KSP.
Perwakilan yang diterima oleh KSP di antaranya Perwakilan DEN KSBSI Dedi Hardianto dan Markus Sidauruk, Perwakilan LBH KSBSI Harris Manalu dan Haris Isbandi, Perwakikan Federasi Sekjen FSB NIKEUBA Dwi Harto Hanggono, Ketum FSB GARTEKS Ary Joko, Ketum FSB KAMIPARHO Supardi dan Ketum FKUI Marihot Nainggolan, dan Perwakilan Media KSBSI Handi Tri Susanto.
(Rob/parade.id)