Jakarta (parade.id)- Amnesty International Indonesia mengecam instruksi “tembak di tempat” terhadap pengunjuk rasa yang dianggap anarkis. Lembaga itu mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan rakyat, alih-alih mengkriminalisasi aksi unjuk rasa.
Seruan ini disampaikan menyusul pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengambil langkah tegas, serta instruksi Kapolri Listyo Sigit Prabowo kepada jajarannya untuk menembak di tempat dengan peluru karet jika markas polisi diserang massa.
“Melabeli aksi demonstrasi masyarakat dengan tuduhan makar maupun terroisme sangatlah berlebihan,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam pernyataan tertulisnya, Ahad (31/8/2025).
Menurut Usman, pernyataan presiden dinilai tidak sensitif terhadap keluhan dan aspirasi yang disuarakan masyarakat dalam demonstrasi. Dia menegaskan bahwa aksi demonstrasi damai bukanlah tindakan makar atau terorisme.
“Negara seharusnya merespons tuntutan dari berbagai kelompok rakyat dengan rangkaian perubahan kebijakan menyeluruh,” katanya.
Beberapa contoh kebijakan yang disebut perlu dibenahi antara lain program makan bergizi gratis, proyek strategis nasional, dan tunjangan anggota parlemen yang dinilai tidak adil.
Amnesty juga mendesak investigasi independen terhadap penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat, termasuk kasus kematian pengemudi ojek online Affan Kurniawan yang tertabrak kendaraan taktis Brimob pada Kamis (28/8/2025). Kematian Affan memicu aksi protes dan bentrokan di sejumlah markas polisi.
Usman memperingatkan bahwa instruksi “tembak di tempat”, bahkan dengan peluru karet, berisiko menyebabkan luka fatal dan mengenai warga sipil yang tidak bersalah. Instruksi ini, menurutnya, berbahaya karena mengabaikan akar masalah, yaitu ketidakpuasan publik terhadap kebijakan negara.
“Instruksi ini lahir bukan dari refleksi kritis atas kebijakan negara dan tindakan aparat dalam penanganan unjuk rasa, melainkan dari respons reaktif terhadap gelombang kemarahan publik,” tegas Hamid.
Dia menambahkan bahwa negara memang berwenang menindak vandalisme, tetapi hal itu harus dilakukan secara terukur, akuntabel, dan sesuai prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
“Dengarkan aspirasi mereka dan kedepankan pendekatan HAM dalam merespons setiap aksi demonstrasi,” pungkas Hamid.
Instruksi Kapolri disampaikan melalui video conference pada Sabtu (30/8), menyusul aksi massa yang menyerang sejumlah markas polisi. Aksi ini sendiri dipicu oleh kematian Affan Kurniawan.
Pada hari yang sama, Presiden Prabowo memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk bertindak tegas menanggapi aksi yang berubah menjadi anarkis, termasuk pembakaran dan penjarahan yang menargetkan sejumlah rumah anggota DPR dan menteri.*