Jakarta (PARADE.ID)- Omnibus Law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil. PUKAT UGM telah mengkaji RUU Cipta Kerja dilihat dari kaca mata isu korupsi, pemerintahan, dan kaidah formil pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Berikut catatan PUKAT UGM terhadap RUU Cipta Kerja:
a. RUU Cipta Kerja dan State Capture
Jika merujuk pada asas-asas formal yang digunakan sebagai pedoman dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, RUU ini tidak memenuhi asas keterbukaan (Pasal 5 UU 12/2011 jo UU Nomor 15/2019). Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, prinsip keterbukaan dimulai sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan.
Sementara pada penyusunan RUU Cipta Kerja ini, perkembangan draft pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses publik. Selain itu, rapat-rapat pembahasan RUU Cipta Kerja sering kali berlangsung tertutup.
Pada sisi lain, proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja kental dengan partisipasi dan perlibatan pengusaha. Hal ini membuka celah masuknya kepentingan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, yakni pengusaha. Fenomena ini erat dengan state capture yang oleh Joel Hellman dan Daniel Kaufmann (2001) didefinisikan sebagai “so-called oligarchs manipulating policy formation and even shaping the emerging rules of the game to their own, very substantial advantage.”
b. RUU Cipta Kerja Tidak Mencerminkan Simplifikasi dan Harmonisasi
Peraturan Perundang-Undangan. Pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dilatarbelakangi oleh realitas kondisi perundang-undangan saat ini. Regulasi yang tumpang tindih ditengarai mengakibatkan kinerja birokrasi yang tidak efisien dan berbeli-belit.
Hal itu pula yang kemudian dianggap sebagai penyebab munculnya ruang-ruang korupsi. Cita-cita simplifikasi dan harmonisasi peraturan kemudian coba untuk diwujudkan dengan RUU Cipta Kerja.
Meskipun demikian, ide simplifikasi dan harmonisasi sulit terbaca dan terdeteksi dalam RUU Cipta Kerja. RUU ini membutuhkan ratusan peraturan pelaksana. Jumlah itu belum termasuk dengan potensi kelahiran “anak-anak” peraturan pelaksana di bawahnya. Justru peraturan-peraturan di bawah Undang-undang merupakan peraturan yang rawan untuk “diselundupkan” oleh kepentingan karena minimnya kewajiban transparansi dan partisipasi publik dalam perumusannya.
Omnibus law hanyalah teknik pembentukan peraturan perundang-undangan, bukan merupakan jawaban atas problem regulasi di Indonesia.
c. RUU Cipta Kerja dan Sentralisasi Kekuasaan
Lord Acton seorang moralis asal Inggris memperkenalkan adagium “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, yang kurang lebih menggambarkan bahwa makin kuat kekuasaan yang dimiliki, maka akan makin berpotensi memunculkan potensi-potensi tindakan korupsi.
Dalam perkembangan pemikiran ketetanegaraan, konsep otonomi daerah muncul sebagai bagian dari diskursus penyebaran kekuasaan (dispersion of power) sebagai manifestasi riil dari demokrasi (Wasisto Raharjo Jati: 2012).
Melihat pola yang terdapat dalam Rancangan UU Cipta Kerja yang banyak menumpukkan kewenangan Pemerintah Pusat tentu saja memberikan alarm bagi dinamika desentralisasi yang menjadi salah satu ruh dalam pelaksanaan kekuasaan di Indonesia. Sebagai contoh, pengaturan kewenangan Pemerintah terkait persetujuan substansial semakin menandakan kekuasaan tertumpuk pada Pemerintah Pusat.
Banyaknya pemberian kewenangan kepada Pemerintah Pusat di dalam Rancangan UU Cipta Kerja rentan terhadap potensi tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Apa yang terjadi di masa orde baru seharusnya cukup untuk menjadi pembelajaran bagi pembentuk Undang-Undang untuk menghindari pola pembagian kekuasaan yang demikian. Walaupun pada faktanya konsep desentralisasi tidak serta- merta menurunkan angka korupsi, tetapi setidaknya dapat memperluas jaring pengawasan yang melibatkan berbagai pihak. Pemusatan kewenangan pada presiden (president heavy) dapat menyisakan persoalan tentang bagaimana memastikan control terhadap kekuasaan Presiden itu.
d. Potensi Penyalahgunaan Wewenang pada Ketentuan Diskresi
RUU Cipta Kerja menghapus persyaratan “tidak bertentangan dengan UU” yang sebelumnya terdapat dalam UU Administrasi Pemerintahan sehingga membuat lingkup diskresi menjadi sangat luas dan rentan terhadap penyelahgunaan. Apalagi jika mencermati bahwa Indonesia belum memiliki pedoman yang jelas dalam menentukan batasan diskresi.
Secara teori, diskresi sebenarnya tidak dibatasi oleh peraturan perundangan karena hakikat diskresi adalah kewenangan yang bebas. Sayangnya, pasal ini seperti cek kosong sehingga menyebabkan cakupan diskresi menjadi sangat lebar dan tanpa ada mekanisme pengawasan yang memadai.
Catatan di atas menggambarkan bahwa RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode, maupun substansinya. Pembahasan yang terus berlangsung selama pandemi dan dilakukan tanpa partisipasi publik yang maksimal, hanya semakin menunjukkan bagaimana tidak pedulinya DPR terhadap suara dan masukan publik.
6 Oktober 2020
*Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi UGM