Jakarta (parade.id)- Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) mengapresiasi putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker). Hal itu disampaikan oleh Ketum GSBI Rudi HB Daman.
“Saya mengapresiasi atas putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada tanggal 31 Oktober 2024 kemarin. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI ini harus diakui telah membuat beberapa hal yang merugikan kaum buruh dapat dikembalikan lagi walau tidak sepenuhnya seperti pada aturan sebelumnya,” terang Rudi kepada parade.id, Ahad (3/11/2024).
“Contohnya tentang Upah Minimum Sektoral (UMSK) yang telah dihilangkan oleh Omnibus Law Ciptaker, melalui putusan ini dikembalikan lagi, alias ada lagi alias berlaku lagi. Maka ini patut disyukuri oleh kaum buruh,” imbuhnya.
Ada yang menarik menurut Rudi dari putusan MK itu. Misalnya dalam poin pertimbangan [3.16] di mana adanya perintah Mahkamah kepada pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR RI) untuk segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU nomor 6 tahun 2023 (omnibus law Cipta kerja).
“Dimana Mahkamah berpendapat banyaknya pasal-pasal dalam UU Omnibuslaw Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, dan dengan cara mengaturnya dalam undang-undang tersendiri dan terpisah dari UU no.6 tahun 2023, undang-undang ketenagakerjaan akan menjadi lebih mudah dipahami,” terangnya lagi.
“Dengan menggunakan dasar pemikiran tersebut, waktu paling lama 2 (dua) tahun dinilai oleh Mahkamah cukup bagi pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi UU 13/2003 dan UU 6/2023, serta sekaligus menampung substansi dan semangat sejumlah putusan Mahkamah yang berkenaan dengan ketenagakerjaan dengan melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja/serikat buruh,” ia melanjutkan.
Maka dari poin ini kata Rudi, adalah kesempatan bagi kaum buruh Indonesia untuk mendesak pemerintah Prabowo Subianto segera mengeluarkan masalah Ketenagakerjaan dari Omnibus Law Cipta Kerja dan segera membentuk UU Ketenagakerjaan baru sebagaimana perintah Mahkamah.
“Namun begitu harus dipahami bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI ini secara filosofis hukum masih tetap mempertahankan rezim Omnibus Law; hubungan dan status kerja yang fleksibel menjadi semakin fleksibel, mempertahankan politik upah murah, PHK dipermudah dan pada pokoknya aturan yang pro investasi, pro kaum borjuasi asing dan komprador, tuan tanah besar serta mempasilitasi dan mempermudah investasi dan berusaha,” katanya.
“Artinya masih belum mengubah landscape atau gambaran besar perubahan atas kepastian dan perlindungan hak-hak buruh, kesejateraan dan kemuliaan bagi kaum buruh dan keluarganya,” katanya lagi.
Menurut dia, kaum buruh Indonesia atas putusan ini harus bersyukur agar tidak kufur nikmat, dan boleh kaum buruh bersukaria—senang atas putusan ini, tapi tidak boleh telah merasa menang, karena perjuangan atas penolakan dan pencabutan atas itu belum selesai atau berakhir.
“Jika demikian hal itu sangat keliru, dan berbahaya, karena jika kita kaum buruh terkhusus serikat buruh dengan putusan ini sudah merasa menang padahal sesungguhnya ini masih kekalahan. Seperti yang saya sampaikan putusan ini tidak mengubah rezim Omnibus Law, tidak mengubah landscape atau gambaran besar perubahan atas kepastian dan jaminan perlindungan hak-hak buruh. Kaum buruh menang itu kalau Omnibus Law Cipta Kerja dicabut/dibatalkan, itu baru kemenangan,” katanya.
Maka dari itu menurutnya tetap masih diperlukan adanya pengawalan yang cukup serius oleh gerakan buruh Indonesia. Konsolidasi dan perlawanan dalam berbagai bentuk seperti aksi-aksi dllnya untuk dicabutnya omnibus law harus terus dilakukan.
“Dan yang paling pokok sosialisasi putusan ini kepada buruh agar tidak salah memahaminya. Terus bangkitkan, organisasikan dan gerakan kaum buruh untuk berjuang memastikan akan hak-haknya,” pungkasnya.
(Rob/parade.id)