Jakarta (parade.id)- Di saat elit politik sibuk dengan dinamika kekuasaan, Intan, seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT), harus menjalani hidup bak di neraka. Ia dipaksa meminum air kloset, memakan kotoran anjing, hingga kepalanya dibenturkan ke dinding.
Kasus Intan menjadi tamparan keras bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah yang hingga kini, setelah 21 tahun, masih membiarkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) terkatung-katung.
Koordinator Nasional Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU PPRT, Lita Anggraini, menegaskan bahwa vonis terhadap penyiksa Intan memang pantas, namun hal itu tidak menyelesaikan akar masalah. Tanpa payung hukum, negara secara tidak langsung melanggengkan praktik perbudakan modern.
“Kasus Intan adalah potret buram perbudakan modern terhadap PRT. Situasi ini sudah banyak memakan korban, tapi negara belum juga hadir untuk PRT,” ujar Lita dalam keterangannya, Rabu (10/12/2025).
Kondisi Intan yang tak diberi upah, selalu disalahkan, dan disiksa secara keji adalah konsekuensi nyata dari ketiadaan perlindungan hukum yang spesifik bagi jutaan PRT di Indonesia.
Kritik tajam diarahkan pada inkonsistensi janji pejabat negara. Lita mengingatkan publik pada janji Presiden Prabowo dan pimpinan DPR pada 1 Mei lalu. Kala itu, mereka berkomitmen mengesahkan RUU PPRT dalam kurun waktu tiga bulan.
Namun, hingga Desember 2025—jauh melampaui tenggat waktu yang dijanjikan—RUU tersebut tak kunjung disahkan.
Janji: Pengesahan dalam 3 bulan (sejak Mei 2025). Namun realitanya: hingga Desember 2025, pembahasan masih macet—hambatan diduga masih ada satu pimpinan DPR yang menahan pembahasan tersebut.
“Bagaimana sikap Pimpinan DPR yang lain?” tanya Lita retoris, menyentil kolektif kolegial pimpinan dewan yang seolah tak berdaya menghadapi hambatan internal tersebut.
Di peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 2025 ini, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar RUU PPRT segera disahkan sebagai bukti bahwa PRT adalah manusia yang memiliki hak asasi, bukan sekadar penopang ekonomi yang bisa dipinggirkan.
Penundaan berlarut-larut ini dinilai bukan lagi sekadar masalah administrasi legislasi, melainkan indikator keberpihakan negara.
“Pengesahan RUU PPRT akan menjadi bukti bahwa negara hadir dan bukan menjadi agen perbudakan modern,” pungkas Lita.







