Jakarta (parade.id)- Sebelas tahun berlalu sejak tragedi Paniai Berdarah yang menewaskan empat remaja Papua pada 7-8 Desember 2014, namun keadilan bagi korban masih jauh dari harapan. Diskusi publik yang digelar Senin (8/12/2025) mengungkap fakta mengejutkan: proses pengadilan HAM kasus ini adalah “peradilan sesat” yang dirancang untuk gagal.
“Ini adalah bagian dari peradilan sesat yang dibuat dan dirancang sedemikian rupa oleh pemerintah melalui institusinya,” tegas Edo dari LBH Papua dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Rumah Solidaritas Papua dan sejumlah organisasi HAM.
Hanya Satu Terdakwa dari 41 Personel yang Diduga Terlibat
Anum Siregar dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) memaparkan hasil pemantauan sidang 2022 di Makassar yang penuh kejanggalan. Dari 41 personel TNI-Polri yang diduga terlibat menurut laporan Komnas HAM, hanya satu orang—seorang perwira penghubung—yang dijadikan terdakwa. Ironisnya, terdakwa itu divonis bebas.
“Harusnya pelanggaran HAM berat tidak bisa dilakukan perorangan. Ini dilakukan secara terstruktur dan terorganisir,” kata Anum.
Laporan Komnas HAM dan tim investigasi Mabes Polri jelas menyebutkan ada empat titik penembakan: Koramil, Polsek, pos Paskas, dan pos Kopassus. Namun institusi-institusi ini justru hilang dari dakwaan jaksa.
Jaksa Agung: Aktor Utama Peradilan Sesat
Edo menunjuk Jaksa Agung sebagai aktor kunci yang merekayasa sistem peradilan sesat ini. Sebagai penyidik dan penuntut dalam kasus pelanggaran HAM berat, Jaksa Agung menentukan siapa tersangka dan alat bukti apa yang dipakai.
“Institusi lain seperti Angkatan Udara, Brimob, Kopassus kenapa tidak disebutkan? Padahal dalam keterangan Kapolres jelas menyebutkan suara tembakan datang dari tower Paskas,” ujar Edo.
Yang lebih ironis, pelaku eksekutor di lapangan yang melakukan penembakan justru dipanggil sebagai saksi, bukan terdakwa. Sementara komandan yang mestinya bertanggung jawab atas komando tidak dimintai pertanggungjawaban.
Tiga Tahun Kasasi Mandek, Hakim Ad Hoc Belum Ada
Hans dari Kontras mengungkap fakta mencengangkan: kasasi yang diajukan awal 2023 hingga kini belum berjalan karena tidak ada hakim ad hoc HAM. Padahal Undang-Undang Pengadilan HAM menetapkan maksimal 90 hari untuk proses kasasi.
“Bayangkan 3 tahun. Korban menunggu keadilan, terdakwa juga tidak dapat kepastian. Bahkan jaksa yang menangani kasus ini sudah pensiun, tapi kasusnya belum dimulai,” kata Hans.
Komisi Yudisial dan DPR RI sudah empat kali gagal menyeleksi hakim ad hoc. Sebagian calon tidak paham pelanggaran HAM di Papua—bahkan tidak tahu kasus Abepura. Sebagian lagi yang kompeten justru ditolak DPR.
Nol Kasus HAM Berat Terbukti di Indonesia
Hans mengingatkan fakta kelam: dari 17 peristiwa pelanggaran HAM berat yang ditetapkan Komnas HAM, empat sudah diadili (Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura, dan Paniai). Semuanya berujung vonis bebas.
“Tidak ada satu orang pun di Indonesia yang divonis bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan,” tegasnya.
Bahkan Presiden Jokowi yang berjanji menuntaskan kasus Paniai saat Natal 2014 di Jayapura, pada 2023 justru tidak memasukkan Paniai dan Abepura dalam 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakuinya. Pemerintah menganggap kedua kasus itu sudah selesai.
Pelanggaran HAM Berlapis
Edo menegaskan bahwa peradilan sesat ini melahirkan pelanggaran HAM baru. Definisi pelanggaran HAM dalam UU 39/1999 mencakup tidak terpenuhinya hak atas keadilan melalui mekanisme hukum yang benar.
“Dari pelanggaran HAM berat Paniai kemudian melahirkan pelanggaran HAM baru. Jadi ada dua sekaligus,” katanya.
Anum menambahkan, ganti rugi yang diterima keluarga korban tidak boleh menutup perkara. “Itu bagian dari restitusi dan kompensasi yang memang hak mereka. Proses hukum harus tetap jalan.”
Pengadilan HAM di Papua: Amanat yang Diabaikan
Kritis lainnya: UU Otonomi Khusus Papua (UU 35/2008 pasal 45 ayat 2) mewajibkan pendirian pengadilan HAM di Papua. Hingga kini tidak ada. Dua kasus dari Papua (Abepura dan Paniai) diadili di Makassar, keduanya bebas.
“Pengadilan di Makassar jauh dari sorotan publik Papua dan keluarga korban. Banyak saksi tidak hadir karena tidak ada biaya. Jaksa Agung tidak membiayai mereka,” ungkap Edo.
Desakan: Kasasi Segera, Pengadilan HAM di Papua
Para pembicara mendesak pemerintahan Prabowo—yang baru membentuk Kementerian HAM—untuk segera menyelesaikan kasasi Paniai. Menteri HAM Natalius Pigai, yang dulu memimpin penyelidikan Komnas HAM untuk kasus ini, diminta menagih janjinya.
Selain itu, harus segera dibentuk pengadilan HAM dan kantor Komnas HAM di enam provinsi Papua. Dengan kondisi Papua hari ini yang makin represif, satu kantor Komnas HAM di Jayapura tidak cukup mengawasi pelanggaran HAM di seluruh Papua.
“Kalau satu terdakwa bebas, seharusnya Jaksa Agung mencari terdakwa lain. Tapi tidak dilakukan. Ini menunjukkan tidak ada keseriusan,” tegas Hans.
Diskusi ditutup dengan ajakan solidaritas: kasus Paniai bukan hanya urusan orang Papua, tapi urusan semua warga negara. “Jika hari ini kita mendiamkan, besok anak cucu kita bisa jadi korban. Mendiamkan kejahatan membuat impunitas terus berulang,” pungkas moderator.
Diskusi publik ini digegas Rumah Solidaritas Papua, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Imparsial, Kontras, Kurawal Foundation, dan sejumlah organisasi HAM lainnya.







