Jakarta (PARADE.ID)- Keputusan aktivasi polisi siber ‘demokrasi’ perlu dikaji ulang. Jangan sampai demokrasi hanya akan berjalan sekadar formalitas saja namun tidak ada implementasi yang baik dalam realitanya. Demikian kata Ketua DPP Mardani Ali Sera, Selasa (29/12/2020).
Mardani menyayangkan adanya polisi siber tersebut. Di tengah kondisi demokrasi yang sedang memprihatinkan, polisi siber justru dikerahkan. Hal ini, kata dia, bisa membungkam kebebasan sipil dan berpotensi melanggar hak kebebasan berekspresi yang telah dilindungi oleh konstitusi
Semestinya, menurut Mardani, polisi siber itu dikerahkan untuk persoalan yang lebih genting, seperti kejahatan siber yang di antaranya cracking, peretasan data, online money laundering.
“Menurut laporan Financial Service information sharing and Analysis Center (FS-ISAC), Indonesia termasuk dalam daftar 10 negara di dunia yang rentan akibat kejahatan teknologi informasi,” demikian tertulis di akun Twitter-nya.
Mardani mengingatkan, bahwa sesuai dengan asas ulitimatum remedium, hukum harus dijadikan langkah terkahir menyelesaikan suatu perkara. Dan Pemerintah dapat memulainya itu dengan meningkatkan literasi digital masyarakat.
“Lalu kita juga masih ingat kasus2 cyber crime yang sangat serius mulai dari pencurian 91 juta data pribadi dari salah satu e-commerce, hingga peretasan situs KPU. Apakah sudah ada penangan terhadap kasus-kasus tersebut oleh polisi siber kita?”
(Robi/PARADE.ID)