Jakarta (PARADE.ID)- Semenjak digalakkannya visi Poros Maritim Dunia yang dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo pada periode awal kepemimpinannya, berbagai macam hal yang berbau maritim mulai dikembangkan. Kerja sama yang terjalin dengan China melalui Memorandum of Understanding (MoU) dengan judul “Jointly Promoting Cooporation within Framework of The Global Maritim Fulcrum Vision and The Silk Road Economic Belt and Road The 21st Century Maritime Silk Road Initiative” memberikan angin segar bagi Indonesia untuk mengembangkan beberapa infrastruktur, terkhusus pada pelabuhan-pelabuhan peti kemas demi stabilitas rantai pasok.
Hal tersebut sekiranya sejalan dengan pandangan Alfred Thayer Mahan (1889) tentang teori penguasaan lautnya. Dalam teori tersebut Mahan menyebutkan bahwa “barang siapa yang menguasai lautan, maka akan menguasai dunia”.
Dari teori tersebut, terdapat aspek yang harus dikelola dengan baik, yaitu aspek perdagangan dan aspek pertahanan laut. Dalam hal ini Indonesia sangat ingin menguatkan kekuatan ekonominya dengan ingin menjadikan pelabuhan Kuala Tanjung sebagai Port Hub nomor satu di dunia. Sebab secara geopolitik, pelabuhan tersebut sangat mungkin dimaksimalkan sebagai Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC).
Secara geopolitik, pelabuhan Kuala Tanjung memiliki wilayah yang lebih luas ketimbang pelabuhan yang berada di singapura. Sehingga dapat memberikan akses lebih terhadap kapal-kapal yang ingin transit maupun menaruh hasil produksinya di pelabuhan tersebut. Disebabkan wilayahnya yang lebih besar, maka dapat menggeser superioritas Singapura dalam bidang SLOC dan SLOC.
Selain dengan menggeser Singapura dalam SLOC dan SLOT, pelabuhan tersebut diyakini dapat mempercepat perputaran rantai pasok agar lebih efisien sehingga dapat menekan harga.
Hal tersebut didukung oleh Yudi Prabangkara dalam wawancara dengan penulis satu tahun silam menyatakan bahwa pelabuhan Kuala Tanjung dapat mengambil alih jalur maritim yang terletak di Selat Malaka.
Pelaksanaannya dalam menguatkan pelabuhan tersebut yaitu dengan mengawinkan Pelindo I, pelabuhan Zhejiang serta pelabuhan Rotterdam. Karena kedua pelabuhan tersebut yang akan mengalirkan barang pada lalu lintas laut internasional dan tidak akan melewati kawasan Singapura pada lalu lintas internasional. Karena Posisinya yang juga lebar, jadi mau tidak mau seluruh negara yang menggunakan jalur laut lebih memilih singgah di Kuala Tanjung ketimbang singgah di Singapura.
Kuala Tanjung yang direncanakan menjadi pelabuhan internasional sekaligus menjadi aliran perputaran barang dari industri internasional. Terbukti, pelabuhan Kuala Tanjung semakin sibuk dengan meningkatnya jumlah peti kemas yang ditangani di pelabuhan tersebut. Menurut laporan Pelindo 1, kesibukan pelabuhan ini meningkat dari tahun 2019 sebanyak 16.970 ton pada tahun 2020 menjadi 46.801 Ton (Pelindo I, 2020).
Dengan meningkatnya jumlah peti kemas yang ditangani di pelabuhan Kuala Tanjung, tentu akan memberikan peningkatan pada sektor ekonomi. Sehingga dalam hal ini penulis melihat bahwa pelabuhan tersebut akan memiliki nilai yang tinggi dalam mendongkrak keinginan Indonesia untuk menjadi Poros Maritim Dunia.
*Muhammad Zulham
Peserta LKK III advance training HMI BADKO KEPRI-RIAU