Jakarta (PARADE.ID)- Ketika Paus Fransiskus menyatakan sedih atas kembalinya Aya Sofya menjadi Masjid, saya jadi teringat peristiwa pada April 1204; ‘The Sack Of Constantinople’.
Penjarahan tehadap Konstantinopel dan khususnya Aya Sofya dilakukan oleh Pasukan Salib IV dan koalisi Venesia-nya yang dipimpin oleh Enrico Dandolo. Ribuan penduduk Konstantinopel dibunuh, perempuan-perempuannya diperkosa, harta benda dijarah serta dirampok. Jumlah jarahan Konstantinopel oleh Pasukan Salib IV kala itu mencapai 900.000 mark perak (1 mark = 234 gram).
Bagaimana nasib Aya Sofya? Gereja Agung itu pelat-pelat emasnya dipreteli, tiang lilin dan nekarupa perabot perak diambili, patung-patung perunggunya dilebur, relik-relik sucinya diangkut ke Venesia. Pada malam hari, Aya Sofya digunakan berpesta dan mabuk-mabukan lalu dijadikan kandang kuda dan babi.
Tunggu sebentar, bukankah Pasukan Salib IV dan Kekaisaran Bizantium sesama Kristen?
Masalahnya adalah Skhisma atau perpecahan Gereja yang terjadi sejak tahun 1054. Paus Leo IX di Roma menyatakan supremasinya atas seluruh dunia Kristen, namun Patriark Konstantinopel, Michael Cerularios menolaknya. Konflik ajaran yang bermula dari klausa filioque yang disisipkan ke dalam Kredo Nicea oleh Gereja Barat memuncak. Patriak Konstantinopel menyatakan kepemimpinannya atas seluruh Kristen Ortodoks yang liturginya berbahasa Yunani dan menyatakan bahwa Gereja Roma yang berbahasa Latin adalah bidah dan sesat. Demikian pula sebaliknya.
Jika Pasukan Salib IV di bawah titah suci Paus di Roma demikian menista perlakuannya pada Aya Sofya; sebaliknya dengan Al Fatih. Begitu tiba, Sang Pembebas segera bersujud ke arah kiblat di dekat Aya Sofya dan menaburkan tanah ke kepalanya untuk membunuh kesombongannya. Dia umumkan Aya Sofya dalam kuasa pribadinya dan tak boleh seorangpun menyentuhnya, lalu dia muliakan tempat itu menjadi Masjid. Semoga Allah merahmatinya.
*Penulis, Salim A Fillah