Jakarta (parade.id)- Relawan Muda Indonesia untuk Demokrasi (RMID) meminta kepada penolak revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, untuk tidak menakut-nakuti rakyat, yang seolah-olah jika revisi UU terjadi maka akan ada ancaman ke rakyat.
“Jadi, kawan-kawan Koalisi Masyarakat Sipil jangan terlalu membuat ketakutan yang berlebihan di masyarakat, seakan-akan ini merupakan ancaman besar untuk masyarakat sipil,” kata Presidium RMID, Muhammad Jufri, kepada media, Senin (15/5/2023).
Menurut Jufri, revisi UU TNI yang ditolak oleh Koalisi Masyarakat Sipil hanya merupakan bentuk ketakutan di masa lalu yang tak perlu dibangun narasinya saat ini.
“Bahkan jika RUU TNI tidak segera disahkan maka akan sangat menghambat terwujudnya kemanan negara yang saat ini sedang terganggu, misal di Papua. Ancaman serius ini harus segera dituntaskan dengan adanya revisi UU TNI,” kata dia.
Revisi UU TNI menurut dia diperlukan jika melihat kondisi tersebut. Pasalnya, persolan konflik Papua ini kata dia sudah sangat mengancam kedaulatan NKRI. “Maka dengan adanya revisi UU TNI, ini saya menganggap perlu dilakukan agara upaya untuk menuntaskan persoalan kedaulatan di dalam negeri dapat diselesaiakan,” kata dia lagi.
Soal HAM, Jufri meyakini TNI sudah sangat paham, salah satunya bagaimana upaya TNI di sana dalam mengawal konflik di Papua hingga saat ini.
“Untuk itu, kami meminta kepada teman-teman Koalisi Masyarakaat Sipil jangan membuat propaganda dan menebar ancaman berlebihan di masyarakat terkait persoalan pelanggaran HAM. Mari sama-sama kita jaga kedaulatan negara dan bangsa kita dari keinginan kelompok-kelompok yang selama ini ingin merusak demokrasi dan tatanan kehidupan bernegara kita yang sudah 77 tahun merdeka. Kita berikan kepercayaan kepada TNI sekaligus kita kawal agar tidak terjadi pelanggaran kemanusian,” serunya.
Soal kritik di poin revisi UU TNI pasal 47 ayat 2, di mana disebutkan TNI aktif bisa menduduki jabatan, ia menganganggap tak ada masalah. “Sejauh ini kita melihat TNI hanya didahapkan dengan wilayah perang saja tetapi di balik itu banyak prajurit TNI yang mempunyai kemampun (yang mumpuni di wilayah non perang.) Jadi apa masalahnya dengan revisi UU TNI pasal 47 ayat 2 itu?” kata dia.
Ia juga menyebut bahwa pasal di atas dirasa tidak mungkin akan memunculkan ancaman seperti kembali hidupnya dwifungsi ABRI.
“Jika revisi UU TNI menimbulkan ketakutan, seharusnya teman-teman koalisi harus mendorong juga revisi UU Polri terkait penempatan jabatan strategias/sipil. Bahwa itu artinya kawan-kawan masyarakat sipil harus berimbang dalam kajian, kemudian menyikapi secara bijak, bukan menyudutkan TNI yang serius menjaga kedaulatan negara kita,” pungkasnya.
sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah meninjau ulang revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurut Koalisi, revisi tersebut merupakan kemunduran demokrasi, memicu kembalinya dwifungsi ABRI.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan gabungan dari Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Institut Setara, AJI Jakarta.
(Rob/parade.id)