Jakarta (PARADE.ID)- Per 30 April 2020, ada 222,9 juta rakyat Indonesia yang jadi peserta BPJS.
96,5 juta adalah penerima bantuan iuran (PBI), yaitu kelompok tidak mampu/miskin. 36 juta adalah kelompok yang didaftarkan oleh Pemda, ini juga kelompok tidak mampu/miskin. 17,7 juta dari PNS, TNI, dan aparat penyelenggara negara lainnya. Karyawan swasta 35 juta. BUMN 1,5 juta. Dan terakhir, peserta mandiri 35 juta.
Mari kita rekap:
132 juta (96+36) dari PBI pemerintah+pemda
54 juta (17,7+35+1,5) dari karyawan+PNS+TNI
35 juta dari peserta mandiri.
Sisanya 37 juta belum jadi peserta.
Menurut laporan pemerintah, kelompok PBI ini surplus 11 trilyun. Bagus. Kelompok karyawan juga surplus 13 trilyun. Biang masalahnya di peserta mandiri, defisit 27 trilyun.
Maka, kenapa nggak sih dibuat simpel saja BPJS ini?
1. Pemerintah fokus saja ke PBI 96,5 juta, plus 36 juta yang didaftarkan Pemda. Totalnya 132 juta. Gratis, tanggung semua premi-nya. Toh mereka memang tidak mampu, miskin.
2. Darimana uangnya? Dari pajak. Yang dibayar masyarakat yang mampu. Inilah subsidi silangnya.
3. Sementara di luar 132 juta ini bagaimana? Terserah mereka. Jika mereka menganggap BPJS itu bagus, silahkan ikut. Mereka dengan kesadaran sendiri, rela, ihklas, dipotong gajinya, autodebet rekeningnya. Beres.
4. Yang tidak mau ikut. Silahkan nyari sendiri jaminan kesehatannya. Di luar sana banyak asuransi, dll, dll. Biarkan mereka mandiri mengurusnya. Atau biarkan perusahaan mengurusnya sendiri.
Sederhana sekali bukan? Rakyat yang tidak mampu, 132 juta tetap ditanggung pemerintah. Gratis. Darimana uangnya? Pajak dari kelompok yang mampu. Itulah subsidi silangnya. Itu usul yang nyata sekali loh? Masa’ dibilang nggak ngasih solusi? Kita fokus hanya pada 132 juta rakyat yang tidak mampu. Ditalangin semua. Dengan asumsi premi-nya Rp 45.000 per bulan, Itu kira2 butuh 72 trilyun per tahun. Tidak apa, mereka memang tidak mampu.
Sementara yang di luar itu, bebas saja mau milih apa. BPJS boleh, tidak mau BPJS juga boleh. Buat yang merasa sangat terbantu dengan BPJS mereka akan ikut sukarela, malah akan sangat bersyukur. Buat yang selama ini merasa mubazir bayar, silahkan minggat, berhenti dari BPJS.
Lantas kenapa pemerintah tidak mau? Nah, inilah yang sangat menarik. Pemerintah itu tidak bodoh. Mereka itu pintar semua berhitung. Ahli2 semua. Simpel saja penjelasannya: ada potensi ‘merepotkan’ jika BPJS ini tidak melibatkan iuran rakyat. Bahwa besok lusa, angka yang ditanggung pemerintah akan semakin menggila. Sementara proyek2 lain juga butuh uang.
Maka, tentu akan sangat menyenangkan bagi pemerintah, jika 260 juta rakyat Indonesia diwajibkan semua ikut. 132 juta ditanggung pemerintah, 128 juta bayar (perusahaan atau mandiri). Wah, itu ratusan trilyun sendiri uangnya. Syukur2 mereka tertib bayar. Syukur2 mereka tdk marah jika besok iuran terus naik 5% (misal) per tahun. Besok2, dengan hitung2an yang brilian, pada akhirnya pemerintah tidak perlu lagi ngeluarin uang banyak utk BPJS, iuran dari peserta mandiri akan menutup peserta yang tidak mampu. Bravo.
Lantas apa gunanya pemerintah? Apa gunanya pajak yang dibayar rakyat? Ini juga pertanyaan yang sangat serius.
Kesehatan itu penting sekali bagi setiap orang. Pendidikan, kesehatan, itu jauh lebih penting dibanding proyek2 lain. Habiskan ratusan trilyun tidak masalah. Itu memang haknya rakyat. Itu harusnya ada di skala prioritas tertinggi.
BPJS ini, terus saja jadi drama berkepanjangan sejak berdiri. Kalau kita bersepakat kesehatan rakyat itu penting, baiklah, tutup mata, 260 juta ditanggung semua saja oleh pemerintah. Sekalian saja semuanya. Dan tidak usah ada kelas 1, 2, atau 3. Semua masuk kelas yang sama, kelas BPJS. Preminya tidak akan lebih dari 200 trilyun. Ambil dari APBN untuk BPJS. Selesai diskusi. Ada uangnya? Ada-lah. Tinggal proyek2 lain dihapus dulu.
Tapi kalau mau dibikin drama terus sih monggo. Kita berisik sekali bahas BPJS, naikin iuran BPJS gara2 defisit 15 trilyun. Duh Gusti, elu bikin program Kartu Pra Kerja 20 trilyun bisa. Kok buat kesehatan rakyat tidak bisa? Batalkan saja dulu itu 20 trilyun, pindahkan ke defisit BPJS. Selesai, bukan?
Jangan mau enaknya saja. BPJS defisit, naikin iuran. Itu bukan solusi. Kalau memang pemerintah tidak sanggup menanggung defisit premi dari kelompok di luar PBI (penerima bantuan iuran), maka tidak usah diurus. Pemerintah cukup fokus ke PBI 132 juta tadi. Toh, menurut data kalian sendiri, premi dari PBI ini surplus loh, 11 trilyun surplusnya.
Maka pemerintah fokus saja ke 132 juta. Yang 35 juta ini silahkan mereka mikir sendiri. Jika mereka memang butuh BPJS, mereka akan daftar dengan sukarela. Paling nanti mereka akan teriak2 marah, bilang mereka juga WNI, berhak dapat perlindungan kesehatan. Tapi setidaknya, kita tidak merepotkan lagi kelompok yang tertib bayar iuran, tertib bertahun2, dipotong gajinya langsung (kelompok 54 juta orang, PNS, TNI, karyawan swasta, BUMN), padahal kelompk ini belum tentu juga selalu pakai BPJS.
Bebaskan kelompok ini mau milih BPJS atau tidak. Jumlah mereka 54 juta, banyak itu. Yg mau pakai, silahkan lanjut. Yang tidak, maka gaji mereka tidak perlu lagi dipotong 5% (4% ditanggung pemberi kerja, 1% ditanggung pekerja). Itu akan meringankan beban pemerintah juga, tidak perlu nanggung 4% nya lagi utk PNS, TNI, dll. Juga meringankan beban perusahaan.
Jelas tidak? Ada dua kontras solusinya.
1. Ada solusi super. 260 juta ditanggung semua oleh pemerintah. Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Mari habiskan 200 trilyun dari APBN untuk kesehatan. Proyek2 lain menyingkir, batalkan. Tidak ada lagi potongan BPJS di gaji karyawan, PNS, TNI, dll. Semua gratis.
2. Ada solusi medium. Fokus 132 juta saja. Sisanya bebaskan mereka mau ikut BPJS atau tidak. 132 juta ditanggung pemerintah, sisanya mau ikut bagus, tidak ikut juga bagus. Yg ikut, baru dipotong gajinya. Gaji PNS, TNI, karyawan, tidak lagi dipotong untuk BPJS. Ubah UU BPJS, itu tidak wajib lagi.
Entahlah, kalian paham tidak sih dengan implikasi kata WAJIB BPJS ini. Itu artinya, 132 juta aman (PBI, ditanggung pemerintah), 54 juta juga aman (ditanggung pemberi kerja 4%, ditanggung pekerja 1%), tapi bagaimana dengan yang 74 juta rakyat Indonesia? Jika mereka tidak ikut BPJS secara mandiri, apa kedudukan hukum mereka di sini? Mereka menolak iuran BPJS?
Pengkhianat bangsa? Penjahat?
UU bilang wajib loh. Maka jika pemerintah mau menghukum mereka besok lusa, kalian mau bilang apa? Secara hukum mereka memang melanggar. Keluarga mereka, anak2 mereka adalah pengkhianat, karena menolak ikut BPJS. Atau UU itu cuma tidak sengaja saja? Jadi tidak perlu takut, namanya tidak sengaja, tidak akan ada implikasi hukumnya.
*Novelis, Tere Liye