Jakarta (PARADE.ID)- Di tengah derasnya informasi yang bersileweran terkait vaksin, ada yang mendukung dan tak sedikit juga masyarakat yang menolaknya, bahkan ada yang terang-terangan menentang tidak akan melakukan vaksin dengan berbagai alasan. Di antaranya pasca melakukan vaksin terjadi efek samping yang negatif seperti lumpuh, bahkan sangat fatal sampai berakibat meninggal seolah-olah vaksin itu momok yang menakutkan dan mengancam masa depan umat manusia.
Masalah tersebut menurut saya itu merupakan kecemasan dan ketakutan yang terlalu berlebihan, atau dalam istilah medis terjadi gangguan psikomomatik, yaitu keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukannya oleh alasan fisik yang jelas, seperti luka atau infeksi. Sebenarnya itu hal yang wajar, mungkin karna informasi yang di dapatnya mengenai vaksin sangat minim, bahkan bisa jadi terpapar hoax.
Sejauh ini belum terbukti secara otentik dari institusi atau lembaga independen yang kredibel dan terpercaya yang mengonfirmasi ada yang lumpuh maupun mati akibat suntik vaksin.
Vaksin dan Hoax
Belangan ini informasi hoax mengenai vaksin seolah menjadi momok yang sangat menakutkan. menjadi tantang tersendiri bagi kita semua, khusus pemerintah itu sendiri. Makanya sampai saat ini pelaksanaan vaksinasi belum sepenuhnya di sambut dengan baik oleh masyarakat. Barang kali mungkin karena ada efek fenomena vaccine hesitancy, yaitu keengganan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin dan imunisasi, ini menjadi penghambat terbesar upaya melindungi masyarakat dari berbagai penyakit berbahaya yang bisa dicegah dengan Imunisasi.
Masalah ini muncul dari beragamnya misinformasi dan informasi hoax yang beredar dan meresahkan masyarakat terkait vaksinasi tersebut.
Menurut data Keminfo RI dalam platfrom digital, dari periode 23 Januari 2020- 22 Agustus 2021 sebaran kasus hoax Covid-19 totalnya (4520). Sebaran kasus; Facebook (3852), Instagram (38), Twitter (567), Yautube (53), tiktok (10).
Khusus sebaran kasus hoax Vaksin Covid-19 totalnya (2005). Sebaran; Facebook (1831), Instagram (11), Twitter (105), Yautube (41), tiktok (17). Data dari Kemenkes RI jauh lebih banyak lagi. Menurut juru bicara pemerintah untuk Covid-19, Reisa Broto Asmoro pada (27/7/2021) mengungkapkan selama pandemi, ada (50.000) lebih hoax seputar vaksin Covid-19 yang beredar luas di berbagai platfrom media.
Perang melawan hoax ini masih panjang dan butuh kerja keras dari semua elemen bangsa. Agar tidak mudah termakan hoaks sebaiknya masyarakat mengakses informasi dari sumber yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Harus di akui, bahwa efek hoax ini bisa menjalar dan berpengaruh kemana-kemana. Berdasarkan survei per persepsi masyarakat terhadap vaksinasi Covid-19 yang dilakukan Kementerian Kesehatan, Indonesia Advisory Group on Immunization (ITAGI), WHO dan UNICEF 2020 terjadi penurunan penerimaan vaksin yang tadinya 65 persen pada September 2020 menjadi 30 persen pada Desember 2020.
Jadi sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum melakukan vaksin, termasuk di kota-kota besar, apa lagi di daerah-daerah terpencil mungkin tingkat partisipasi masyarakat yang melakukan vaksin jauh lebih sedikit. Menurut data terkahir dari Kemenkes RI per 20 Agustus 2021, baru tiga daerah yang mencapai kekebalan imunitas atau herb immunity, yaitu Provinsi DKI Jakarta (90%), Provinsi Bali (90%) dan Provinsi Kepulauan Riau (60%).
Dari data ini kalau kita mencermati lebih dalam harapan Indonesia menuju kekebalan imunitas di seluruh daerah itu masih jauh.
Vaksin dan Kemandirian.
Kemarin (20/08/2021) saya baru melakukan vaksin dosis pertama di Kelurahan Pajeten Timur, Kecematan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Menurut sebagian besar para pakar menyakini bahwa vaksin ini merupakan salah satu ikhtiar atau cara preventif yang ampuh agar mengurangi atau memutus mata rantai penularan virus Covid-19 yang sampai saat ini belum juga di temukan obatnya, tetapi upaya itu sedang di galakan oleh para ilmuwan epidemologi di seluruh dunia. Masalah Covid-19 ini bukan lagi persoalan satu atau negara, ini sudah mengglobal dan penyelesaianya sangat kompleks juga rumit. Artinya kita tak boleh lagi mengebaikanya dan harus bergandengan tangan, juga bergotong royong sebagai bentuk partisipasi kita dalam memerangi pandemi.
Vaksin yang di suntikan ke saya kemarin adalah vaksin AstraZeneca, produk dari Inggris yang di kembangkan oleh Universitas Oxford. Tim meneliti vaksin ini banyak melibatkan para ilmuwan, salah satunya ada ilmuwan muda asli dari Indonesia, namanya Indra Rudiansyah yang juga mahasiswa doktoral Clinical Medicine, Jenner Institute, University of Oxford. Dia mendapat beasiswa penuh dari pemerintah melalui Kemenkeu RI. Suatu kebanggaan kita ada talenta muda Indonesia yang terlibat aktif memberikan kontribusi nyata dalam dunia kesehatan di kancah internasional.
Kalau boleh jujur sebenarnya saya jauh lebih bangga lagi kalau ada vaksin produk asli buatan anak bangsa dalam negeri, tapi pengembangan vaksin tersebut sebenarnya suda ada dan di diberi nama vaksin Nusantara dan vaksin Merah Putih. Sejak di terbitnya Keputusan Presiden Nomor 18/2020 tentang Tim Nasional Percepatan Pengembangan Vaksin Covid-19 pada September 2020, sampai saat ini telah menunjukan kemajuan yang signifikan walaupun masih dalam proses uji clinik dan tahapan masih panjang juga berliku.
Terkait pengembangan vaksin dalam negeri itu Presiden Jokowi Dodo pernah berpesan harus mengikuti kaidah-kaidah keilmuan dan saintifik dalam pengembangan vaksin, harus sesuai prosedur yang berlaku dan dilakukan terbuka, transparan dan melibatkan banyak ahli untuk membuktikan bahwa proses pembuatan vaksin telah mengedepankan unsur kehati-hatian dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sampai saat ini kebutuhan kita terhadap vaksin masih tinggi. Pemerintah terus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Data vaksinasi terkahir yang di update oleh Kemenkes RI per 21 Agustus 2021, vaksin dosis pertama 57.303.561 (27,52%), vaksin dosis kedua 31.587.446 (15,17%) dan total sasaran vaksin 208.265.720.
Dari data ini bisa lihat masih jauh yang di tergetkan dan pemerintah terus berupaya mencapai kekebalan imunitas masyarakat atau herb immunity di seluruh wilayah Indonesia.
Mungkin bukan rahasia umum lagi, bahwa jenis vaksin yang beredar di masyarakat saat ini hampir sepenuhnya produk inpor. Melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/12758/2020 telah menetapkan vaksin Corona yang beredar di Indonesia, yaitu vaksin yang diproduksi PT Bio Farma, Oxford-AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, Novavax, Pfizer-BioNTech, dan Sinovac. Melihat dafrar produk ini mebuat hati saya tergeletik dan bertanya, sampai kapan kita bergantung terus dengan negara luar dan bisa mandiri dengan vaksin buatan anak bangsa sendiri dalam negeri?
Barang kali tak sepenuhnya salah ada yang menyebut Indonesia sebagai negara yang gemar inpor. Bukan hanya saja dalam bidang farmasi, mulai dari perlatan yang kecil seperti peniti dan jarum sampai alat berat selalu di inpor. Mungkin cita-cita kita sebagai bangsa yang berdaulat dan mandiri hanya sekedar ilusi semata.
Makanya jangan berharap menjadi bangsa yang berdikari, berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan seperti yang pernah di gaungkan oleh presiden pertama Indonesia Bung Karno kalau mental kita masih rendah dan kurang percaya dengan kemampuan sendiri.
Sebelum mengahiri tulsan ini saya berharap pemerintah kita serius dan bersungguh-suangguh menggarap percepatan vaksin buatan asli Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan juga sebagai ikhtiar kita bersama dalam memerangi atau memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Jangan jadikan pengembangan vaksin dalam negeri hanya untuk sebatas retorika dan lip service (janji yang berpura-pura saja) agar seolah terkesan pemerintah kita mandiri. Selain dari itu yang tak kalah jauh lebih penting lagi, yaitu tetap menjaga prokes secara ketat dan tidak gampang terpapar hoax mengenai vaksin.
*Sahrul Ramadhan, Wasekjend DPP KNPI dan Ketua DPP BMK 1957