Jakarta (parade.id)- Presiden FSPMI Riden Hatam Aziz menegaskan bahwa enam tuntutan yang dibawa pada hari ini di depan Gedung DPR RI mesti diakomodir. Adapun enam tuntutan itu adalah, pertama, menolak menolak isi dari Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
“Maka dalam kesempatan ini, aksi kami di 6 Februari di depan DPR RI ini menyatakan enam tuntutan itu. Wahai anggota DPR, kalau benar kalian wakil rakyat, maka hari inilah mestinya kalian berpihak pada kami, pekerja. Masyarakat di Indonesia. Tapi bila tidak mendengar juga apa yang kami tuntut hari ini, tentu kami akan meninggalkan dirimu di 2024,” tegas Riden.
Adapun tuntutan kedua, FSPMI beserta Partai Buruh, menolak dengan keras RUU Omnibus Law Kesehatan. Alasannya, karena draftnya akan mereduksi UU BPJS Ketenagakerjan dan juga akan mereduksi UU BPJS Kesehatan.
“Tentu ini sangat membahayakan bagi pekerja dan buruh,” kata Riden.
Ketiga, meminta pada Menaker khususnya, pengawasan tentang K3. Ia mengulas kasus di Morowali.
“Kasus morowali yang kemarin terjadi kerusuhan, itu sebetulnya diawali bahwa banyak terjadi kecelakaan bahkan telah meninggal 2 orang jatuh dari crane ke tungku. Terbakar. Juga ada hak-hak karyawan yang tidak dipenuhi. Intinya K3 kami minta betul-betul harus diawasi ketat dan diimplementasikan dengan benar,” pintanya tegas.
Keempat, menuntut perlindungan terhadapa pekerja outsourcingdi perusahaan-perusahaan BUMN—lagi-lagi Riden menilai negara memberi contoh yang buruk kepada masyrakat, kepada rakyat. Dimana para pekerja BUMN, outsourcing-nya hari ini, bukannya lebih baik justru lebih buruk.
“Contoh, upah mereka malahh turun. Perlindungan mereka malah turun. Kemudian khusus di sektor PLN, ini yang sangat tragis, di mana ada pelanggan PLN, dalam waktu yang seharusnya mereka membayar kemudian tidak membayar maka akan jatuhnya utang. Tapi kebijakan manager area PLN, tidak mau ada pelanggannya dinyatakan berutang. Maka konsekuensinya si karyawan, si pekerja PLN itu yang harus menggantikannya,” ungkapnya.
“Membayarkannya, dengan istilah talangan. Ini sangat ironi. Sudah upahnya dikecilin, sudah kesejahteraannya tidak diperhatikan, maka ia harus menalangi juga pembayaran ketika ada pelanggan yang tidak mampu bayar pada saat itu,” ia melanjutkan.
Kelima, menolak penerapan wacana ataupun rencana pemerintah, dalam hal ini Pemerintah DKI Jakarta soal jalan berbayar.
“Kondisi pelayanan transportasi publik belum memadai. Kalau nanti jalan ini berbayar, maka akan menimbulkan biaya hidup yang main tinggi. Tentu ini tidak akan berlaku untuk karyawan pekerja saja, juga kepada seluruh masyarakat. Maka sikap kami dengan tegas menolak rencana pemerintah DKI untuk menerapkan ERP ini,” tegasnya.
Terakhir,FSPMI beserta Partai Buruh meminta perlidnugan terhadap pekerja perkebunan, terhadap pekerja lokal, yang tidak boleh didiskriminasi. Lagi-lagi Riden memberikan contoh kasus di Morowali.
“Morowali sekali lagi saya katakan, di pabrik nikel, terjadi diskriminasi yang luar biasa terhadap pekerja lokal. Jenis pekerjaan yang sama tetapi upahnya sangat berbeda dengan pekerja TKA-TKA China. Di perkebunan pun demikian. Ironi. Ini negeri adalah penghasil minyak terbsesar di dunia. Tapi para pekerja, para karyawannya, justru sangat-sangat miris kehidupannya,” pungkasnya.
Kata Riden, aksi massa hari ini tidak kurang adri 5 ribu orang, yang datang dari Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.
(Rob/parade.id)