Jakarta (parade.id)- PTPN (PT Perkebunan Nusantara) dinobatkan sebagai aktor kejahatan agraria paling kronis di Indonesia. Selama puluhan tahun, BUMN ini berkonflik dengan ribuan bahkan ratusan ribu rumah tangga petani di hampir seluruh Indonesia, dari Papua sampai Aceh.
“PTPN adalah salah satu BUMN milik negara yang selama puluhan tahun telah melakukan kejahatan agraria secara kronis,” ungkap Rizky Anggriana Arimbi, Koordinator Wilayah KPA Sulawesi Selatan, dalam konferensi pers KPA, beberapa waktu lalu.
Di Sulawesi Selatan saja, PTPN menguasai hampir 100 ribu hektare di sembilan kabupaten. Yang lebih mengejutkan, 60 persen dari HGU PTPN sudah berakhir, bahkan sejak 20 tahun lalu, tapi masih diklaim sebagai aset perusahaan.
Di Wajo, HGU seluas 12 ribu hektare sudah habis sejak 2003. Di Enrekang, 5 ribu hektare sudah selesai HGU-nya lebih dari 20 tahun. Namun PTPN tetap menguasai dan bahkan mengklaim tanah tersebut.
“Ini menggambarkan kejahatan PTPN yang sangat sistematis. Tidak memiliki HGU, sementara sudah jelas itu syarat wajib,” kata Rizky.
Lebih parah lagi di Luwu Timur, PTPN menguasai tanah warga transmigrasi dari Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Bali yang sudah memiliki sertifikat hak milik. “Hak keperdataan yang paling diakui negara adalah sertifikat hak milik, tapi tidak berdaya ketika berhadapan dengan BUMN milik negara ini,” ujarnya.
PTPN di Luwu Timur bahkan hanya punya izin lokasi, bukan HGU, dan sebagian besar lahannya masih dalam klaim kawasan hutan.
Perkebunan Tebeng milik PTPN di Takalar yang tersebar di 3 kecamatan dan 21 desa menjadi sumber konflik yang “meledak hampir tiap hari”.
Dalam sebulan terakhir, tidak kurang dari 20 petani dikriminalisasi, dan dua orang terakhir langsung ditetapkan sebagai tersangka.
“Ini bukan setahun dua tahun. Ini sudah lebih dari 40 tahun sejak perusahaan kolonial dikuasai negara dan disatukan dalam PTPN tahun 1994-1996,” jelas Rizky.
Proses holding PTPN yang kini sudah berjalan justru membuat penyelesaian konflik semakin rumit. “Semakin ribet dalam penyelesaian sengketanya, konflik agraria strukturalnya,” kata Rizky.
Ironisnya, setiap kali ada upaya penyelesaian, jawaban dari pemerintah daerah, provinsi, hingga Kementerian ATR/BPN selalu sama: “Ini sangat sulit karena berkaitan dengan PTPN, berkaitan dengan aset BUMN.”
Alasannya, harus ada pelepasan aktiva atau penghapusbukuan aset dari Kementerian Keuangan. Jika dilepaskan begitu saja, dianggap kehilangan aset dan bisa menjerat pejabat dalam indikasi korupsi.
KPA mencatat, daerah-daerah yang berkonflik dengan PTPN merupakan kantong-kantong kemiskinan tertinggi. Di Takalar misalnya, Kecamatan Polombangkeng adalah kecamatan dengan angka petani gurem paling tinggi di Sulawesi Selatan.
“Setiap tahun kemiskinan terus naik dalam kantong-kantong di mana kejahatan agraria, khususnya PTPN, itu terjadi,” ungkap Rizky.
Dua hari sebelum konferensi pers, Menteri ATR/BPN berkunjung ke Sulsel dan menyinggung perlunya menyelesaikan konflik dengan PTPN dan eks-HGU PTPN. Namun KPA skeptis ini hanya lip service.
“Hampir setiap rezim, setiap Menteri ATR/BPN mengatakan hal yang sama, dan ini bukan barang baru. Data sudah selesai, fakta peristiwa hukumnya sudah tersaji jelas,” kata Rizky.
KPA mendesak pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional yang dipimpin langsung Presiden untuk menyelesaikan secara struktural dan komprehensif konflik-konflik yang melibatkan PTPN, Perhutani, Inhutani, dan klaim kawasan hutan negara.
Di Sulsel, dari 3.015 desa dan kelurahan, 1.015 desa masuk klaim hutan, 190 desa dalam klaim HGU PTPN, dan 863 desa dalam konsesi tambang—menggambarkan tragedi kejahatan agraria yang dilakukan negara setiap rezim.







