Jakarta (PARADE.ID)- Sudah lebih dari satu tahun semenjak COVID-19 meledak di China dan ditetapkan sebagai pandemi global oleh World Health Organization (WHO). Semenjak saat itu hingga hari ini, dunia benar-benar disibukkan oleh dampak yang ditimbulkannya.
Menurut perhitungan Reuters, hingga tanggal 24 Juli 2021, angka kematian global akibat virus ini telah melewati 4 juta jiwa dengan kasus infeksi sebanyak 193 juta dan terus meningkat setiap saat.
Di Indonesia, hingga tanggal 24 Juli, akumulasi kasus infeksi menurut data dari John Hopkins University telah menembus angka 3 juta jiwa dan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Munculnya varian baru yang mulai mewabah dari India telah menjadi masalah baru dari masalah sebelumnya yang sebenarnya belum teratasi.
Untuk itulah, semestinya fokus pemerintah saat ini adalah mengatasi pandemi dengan menggandeng semua elemen bangsa. Dibutuhkan suatu sinergi luar biasa yang dapat membawa bangsa ini keluar dari tragedi akibat hantaman pandemi.
Sekat-sekat yang terbangun dalam ruang semu politik sektarian warisan dua kali Pemilu sebelumnya mesti dihilangkan agar bangsa ini bisa segera bahu-membahu menuntaskan masalah pandemi.
Masih hangat ketika laga pembuka grup F antara Hungaria melawan Portugal pada tanggal 16 Juni bulan lalu, pertandingan yang dilangsungkan di stadion Puskas Arena tersebut telah memperbolehkan para penonton memenuhi stadion dengan jumlah penonton sebanyak 60.000 orang, atau angka maksimal dari kapasitas stadion tersebut. Ini adalah gambaran betapa negara-negara di Eropa telah secara praktis keluar dari krisis COVID-19.
Kebijakan pengendalian pandemi yang tepat diikuti oleh kepatuhan warga negara sesungguhnya dibangun oleh landasan dan keyakinan yang kuat terhadap pemerintah (political trust). Selain karena tereliminirnya kepentingan politik demi keselamatan warganya, negara-negara Eropa tidak bisa diragukan lagi bisa lebih mudah menentukan skala prioritas dibanding kepentingan kelompok.
Di Indonesia, berbagai kebijakan untuk mengatasi pandemi senantiasa diwarnai oleh pertentangan, entah itu di akar rumput maupun di level tokoh-tokoh politik nasional. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kebijakan yang seharusnya berorientasi pada prinsip kedaruratan menjadi cenderung lebih ke arah kebijakan politik dengan lebih banyak memperhatikan konsekuensi-konsekuensi politiknya.
Lebih dari satu tahun pasca pandemi melanda, isu yang senantiasa muncul selalu berputar pada masalah hoax seputar pandemi, saling lapor karena informasi menyesatkan, pro kontra kebijakan, konspirasi tentang vaksinasi, kecurigaan terhadap penggunaan vaksin dari negara asal pembuatnya, dan lain sebagainya.
Di situasi saat ini, terlebih ketika sistem dan fasilitas kesehatan kita sudah di ambang tidak mampu lagi mengatasi lonjakan kasus positif, maka pemerintah semestinya kembali melihat lagi persoalan mendasar kenapa situasi ini belum bisa teratasi, yang pertama tentu saja adalah mengembalikan lagi kepercayaan publik, di mana kepala negara dengan secara jumawa mengungkapkan permintaan maaf kepada seluruh rakyat dan mengajak rakyat Indonesia untuk bersama-sama, bahu-membahu menerapkan protokol kesehatan agar bisa segera keluar dari situasi ini.
Harus dipahami, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap berbagai upaya dan kebijakan penanggulangan pandemi secara akumulatif dimulai pada saat korupsi dana bantuan sosial oleh pejabat setingkat Menteri, selain bermunculannya berita-berita pengecualian kebijakan kedaruratan di mana para figur publik bisa leluasa dan bebas dari hukuman ketika muncul di layar kaca sambil mengabaikan protokol COVID-19.
Dinamika ini, meskipun dianggap remeh, tetapi menunjukkan secara gamblang bagaimana nilai dasar dari persepsi sosial bangsa kita. Hal ini kemudian berimbas pada abainya warga dalam menjalankan protokol kesehatan.
Secara esensi, rakyat akan patuh pada anjuran pemerintah apabila yang ditampilkan di publik kita adalah kepatutan yang dapat dicontoh. Sebaliknya, apabila yang dilihat oleh rakyat adalah hal-hal yang mengarah pada pengabaian, maka itulah yang nantinya akan mereka praktikan. “Lha wong mereka saja bisa berkerumun kok”. Begitu kira-kira yang muncul di benak masyarakat.
Alangkah bijaknya jika situasi hari ini ditangani dengan kebijakan yang menyentuh langsung ke sanubari seluruh elemen bangsa. Kemanusiaan haruslah berada di atas segalanya. Sehingga seluruh pihak dan blok politik yang ada sekarang harus mengedepankan aspek kemanusiaan sebagai nilai luhur yang merupakan perwujudan identitas bangsa kita.
Sinergi menyeluruh dibutuhkan agar bangsa ini bisa segera keluar dari beratnya pukulan yang datang akibat pandemi.
Kesadaran itu haruslah datang dari hati dan pikiran kita semuanya. Agak sulit memang membangun sebuah kesadaran kolektif bagi bangsa yang diisi oleh 270 juta orang. Tetapi pendahulu kita sudah merumuskan berbagai konsep perihal nilai luhur yang mesti dijunjung sebagai wujud implementasi keadaban bangsa ini. Nilai luhur kemanusiaan itulah yang saat ini dibutuhkan oleh bangsa ini.
Untuk itulah, sudah saatnya bagi kita untuk menyingkirkan ego pribadi, kepentingan politik dan berbagai paradigma sektarian. Sudah saatnya kita bersinergi dengan landasan nilai luhur untuk mengatasi wabah yang semakin memburuk ini.
Sudah terlalu banyak anak bangsa yang gugur karena bencana ini, kesadaran kita semua lah yang dapat menghentikannya.
*Pemerhati Sosial dan Politik, Taupan Iksan Tuarita