Jakarta (PARADE.ID)- Djoko Tjandra, atau Tjan Kok Hui, adalah buronan negara dalam kasus korupsi. Kalian mungkin terlalu kecil saat Bali Gate alias skandal Bank Bali terjadi di negeri ini tahun 1999.
Kasusnya melibatkan teknik keuangan tingkat tinggi. Meski tinggi, tidak rumit, hanya membutuhkan lobi2 dahsyat. Intinya adalah, Bank Bali ini punya piutang ke tiga bank lain. BDNI, BUN dan Bank Tiara, nilai totalnya 3 trilyun. Nah, tahun 1999, setahun setelah krisis moneter, tiga bank ini masuk perawatan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Jangankan menyelesaikan piutang, hidup saja susah.
Datanglah trio kwek-kwek, eh, ‘pemberani’, Rudy Ramli sbg Dirut Bank Bali bikin kerjasama dengan PT EGP yg bosnya Djoko Tjandra, dan Setya Novanto (kalian mesti kenal nama ini). Mereka bersepakat, bahwa piutang ini di-cessie, dipindahkan ke PT EGP. Bahwa jika PT EGP berhasil menagih, maka PT EGP dapat 50%.
Daripada hilang 3 trilyun, kalau ada pihak lain yg sukses nagih, kan bagus loh. Misal dia berhasil nagih 2 Trilyun. Wah mantap dong, balik itu uang. Tidak apalah 1 trilyun kasih ke pihak pemegang cessie. Yg penting 1 trilyun selamat. Paham?
Ini sih sebenarnya lumrah sekali dalam bisnis hutang-piutang. Saat piutang dialihkan. Yang tidak lumrah itu adalah: betapa hebatnya lobi2 yang terjadi. Kadang cessie ini gagal total, nihil. Namanya nagih ke pihak sedang sekarat, mana ada duitnya.
Tapi yang ini wow, crazy, sukses, dari 3 trilyun itu, PT EGP berhasil menagih 905 milyar. Apakah BDNI, BUN dan Bank Tiara yang bayar 905 milyar ini? Kagak. Ingat, tiga bank ini sudah masuk BPPN. Disehatkan pemerintah. Maka siapa yang bayar? BI dan BPPN-lah. Pemerintah. Ngocor itu duit, 905 milyar.
Dan serunya lagi, ternyata yg seharusnya 50:50, ternyata kagak, Bank Bali cuma dapat 359 milyar (padahal dia harusnya dapat 50%), PT EGP malah dapat 546 milyar. Aneh kan? Pesta pora mereka, itu uang dari rakyat, jadi bancakan bersama. Entah mengalir kemana saja uang ini. Bertahun2 kemudian, bank2 ini sudah beralih nama semua, dijualbeli, dsbgnya, dan hanya ‘setan’ yg tahu, berapa uang yg pemerintah talangin dulu benar2 kembali. Karena namanya menyehatkan, kalau sudah sehat, tentu dijual dan untung. Tapi embuh.
Atas kasus ini, Djoko Tjandra (dan beberapa nama) dihukum, keputusan terakhir MA tahun 2008, dia dihukum penjara, dan uang 546 milyar dirampas untuk negara. Tapi ‘apes’-nya, sehari sebelum keputusan itu keluar, dia kabur ke LN, carter pesawat menuju Papua Nugini. Minggat. Sayonara. Adios. Bye bye. Jadilah dia buronan sejak 2009. Dramatis toh? Sehari sebelum keputusan keluar. Beh, jangan2 ini sudah ngalahin drama film mafia atau bos narkoba Amerika Latin.
Bertahun2 Djoko Tjandra menghilang. Tak ada daya penegak hukum negeri ini menangkapnya. Mereka sih kalau nangkap artis di hotel pasti sigap, tapi urusan koruptor, beraaat. Makanya kalau berhasil satu, ewow hebooh, dipanggil wartawan sebanyak2nya, karena jarang. Coba kalau sering nangkep, kan biasa saja.
Nah, menariknya lagi, Djoko Tjandra barusan datang ke Indonesia loh. Dia sempat buat e-KTP, sehari jadi, dia sempat halan-halan, seperti menertawakan seluruh aparat penegak hukum negeri ini. Dan fantastisnya, terbetik kabar jika surat jalan dia di Indonesia, dikeluarkan oleh BARESKRIM POLRI. Wah, ngeri ini. Kadiv Humas Polri sudah mengakui surat itu benar dibuat oleh bintang satu.
Jadi mari kita tunggu saja. Apa sanksi buat oknum ini. Ehem, kita harus pakai kata ‘oknum’. Apakah oknum ini dicopot? Mutasi? Dipecat? Atau masuk penjara? Karena pelanggaran ini super, itu tdk sepele, dia bukannya nangkep buronan, malah dikasih surat jalan. Tapi kita tunggu saja. Dan jangan sakit hati kalau beritanya hilang begitu saja. Diem-diem bae. Jiwa korsa memang penting. Jiwa korsaaa gitu loh.
Karena mau gimana lagi? Jika surat itu tidak sengaja, kalian mau bilang apa? Karena Tuhan YME saja sungguh pemaaf. Barangsiapa yg tidak sengaja, tidak ada dosa baginya. Bahkan ketika seorang Djoko Tjandra, konon katanya bisa berkeliaran 3 bulan terakhir di Indonesia, menertawakan semua aparatur penegak hukum, itu mungkin ketidaksengajaan saja.
Entahlah, saya lagi mikir, sebenarnya buat apa lagi sih bayar pajak di negeri ini? Bertahun2 tertib lapor, dsbgnya. Duitnya buat nalangin hutang orang. Duitnya buat bayar hutang ngeruk sungai, jadi pulaunya, eh, malah dikasih ke pihak lain. Duitnya buat proyek2 mbuh. Duitnya buat pilkada yg pesertanya anak, mantu, kerabat, itu2 saja. Proses demokrasi yg hanya dikangkangi oleh elit partai politik saja.
*Novelis, Tere Liye