Jakarta (parade.id)- Gejolak internal Nahdlatul Ulama (PBNU) yang kian terbuka ke publik menghadirkan pertanyaan krusial: masih relevankah politik identitas keagamaan di tengah demokrasi yang semakin pragmatis? Konflik yang melibatkan elite PBNU ini tidak hanya soal perpecahan internal, tetapi juga mengancam reposisi peran NU dalam konstelasi politik nasional.
Menurut A. Djunaidi Sahal, Wakil Ketua PWNU Jakarta yang juga aktif di IKA PMII Jakarta, konflik yang terjadi bersumber dari perbedaan fundamental tentang peran NU dalam politik praktis.
“Di satu sisi ada yang ingin menjaga jarak demi marwah jam’iyyah. Di sisi lain, keterlibatan politik dianggap keniscayaan sejarah NU,” ungkap Sahal dalam analisisnya dikutip jakartasatu.com, Sabtu (13/12/2025).
Perbedaan pandangan ini semakin tajam ketika menyangkut relasi PBNU dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebagian elite menilai PKB telah terlalu otonom dan tidak lagi mencerminkan aspirasi kultural NU. Kelompok lain tetap melihat PKB sebagai kanal strategis bagi warga NU dalam politik nasional.
PKB kini terjepit dalam dualisme identitas. Secara historis lahir dari rahim NU, namun berupaya menegaskan diri sebagai partai modern dan nasionalis religius yang independen.
“Ketika PBNU kritis terhadap PKB, legitimasi simbolik PKB di mata warga NU bisa tergerus. Sebaliknya, kedekatan PBNU dengan satu faksi politik tertentu berisiko memecah soliditas jamaah,” jelas Sahal.
Dampak paling nyata dari konflik ini adalah fragmentasi sikap politik di kalangan warga NU. Otoritas keagamaan yang dulu menjadi rujukan moral bersama kini dipersepsikan tidak lagi monolitik.
Kondisi ini membuka tiga peluang besar: partai non-PKB dapat merebut suara warga NU tanpa afiliasi langsung dengan PBNU; tokoh NU lintas partai tampil sebagai penentu ketimbang institusi; dan politik berbasis figur dan isu menggantikan politik identitas keagamaan yang kaku.
Sahal memetakan empat kemungkinan konfigurasi politik ke depan:
Pertama, NU berpeluang menguat sebagai kekuatan moral yang mempengaruhi kebijakan publik tanpa terjebak dalam kepentingan parpol, jika PBNU berhasil menata ulang internalnya.
Kedua, PKB kemungkinan akan memperluas basis di luar NU secara lebih serius, yang dapat memperkuat posisi elektoral namun mengurangi klaim sebagai representasi politik utama warga NU.
Ketiga, konflik ini mendorong konfigurasi politik yang lebih cair, di mana afiliasi keagamaan tidak lagi menjadi penentu tunggal koalisi politik nasional.
Keempat, kader NU termasuk alumni PMII akan memainkan peran strategis sebagai jembatan antara etika ke-NU-an dan realitas politik kekuasaan.
“Pertaruhan utamanya bukan sekadar posisi NU dalam politik, melainkan kemampuan NU menjaga marwah keagamaan di tengah godaan kekuasaan,” tegas Sahal.
Konfigurasi politik ke depan, menurutnya, akan sangat ditentukan oleh apakah PBNU dan PKB mampu menempatkan relasi mereka secara dewasa—saling menghormati batas, tidak saling mengklaim, dan sama-sama menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan organisasi dan elektoral.*







