Jakarta (parade.id)- Ketum Partai Ummat Ridho Rahmadi mengatakan bahwa tirani tidak peduli dengan demokrasi. Bagi mereka, kata Ridho, yang ada hanya kepentingan sendiri. Lantas ia mempertanyakan mengapa masih ada yang menginginkan pemilu 2024 ditunda.
“Kita sudah melihat dengan mata kepada kita sendiri, bagaimana tirani hukum mengatur putusan peradilan. Diringankan sesuai pesanan. Diberatkan sesuai titipan,” pidatonya dalam Rakernas perdana, beru-baru ini, di Jakarta.
“Bahkan ditembakan timas panas ke tubuh 16 laskar muda yang semuanya berumur 22 tahun. Puluhan gas air mata dilontarkan ke penonton Kanjuruhan. Bergelimpangan 135 orang meregang nyawa, 43 di antaranya masih anak-anak. Tapi mereka bukan sekadar angka. Mereka bukan sekadar daftar nama. Mereka adalah cita-cita dan kebanggan orang tua. Mereka dilahirkan dan disuapi, diajari untuk menyambung hidup, dan kehormatan keluarga. Mereka adalah masa depan dan harapan Indonesia,” ia melanjutkan.
Siapa yang membunuh seseorang bukan karena orang yang dibunuh itu telah membunuh orang lain atau karena telah membuat kerusakan di bumi maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia, kata dia, mengutip ayat di Alquran.
Tirani sekali lagi, kata dia, tidak peduli dengan rakyatnya sendiri, apalagi hanya anak buahnya sendiri. Lantas ia kembali mempertanyakan alasan apa pemilu ditunda.
“Kita telah lihat bagaimana tirani ekonomi membuah 1 persen orang kaya Indonesia mengusai lebih dari 50 persen aset nasional. Sedangkan 99 persen sisanya, termasuk seluruh kita yang hadir di ruangan ini, berebut sisanya (dari 50 aset nasional tersebut). Bayangkan, adil atau tidak? Adil atau zalim? Kalau zalim kita lawan, dengan cara-cara yang beradab, yang adiluhur,” ungkapnya.
Selain tirani demokrasi, Ridho menyebut juga ada tirani ekonomi di mana diberi karpet merah. Bukan untuk ekonomi dalam negeri, sayangnya untuk ekonomi asing.
“Indonesia menjadi komprador. Istilah sekarangnya asong. Membuka pintu bagi imprealisme modern, sehingga 90 persen produk yang dijual, di platform belanja online di Indonesia adalah produk asing,” kata dia.
“Kita lihat, 26 juta penduduk Indonesia, hidup di garis kemiskinan. Berapa garis kemiskinan itu? Garis kemiskinan itu setara Rp500 ribu. Setiap bulannya, untuk kebutuhan: sandang, pangan, papan. Satu orang, bayangkan. 500 ribu untuk sandang, pangan, papan. Ini bukan garis kemiskinan. Rp500 ribu itu, untuk sebulan itu adalah garis kemusnahan,” sambungnya.
Padahal lebih kata dia, dari Rp400 triliun nilai belanja online pada tahun 2021. Hanya 10 persen produk dalam negeri. Tirani, lagi-lagi kata dia tidak pernah peduli, sekalipun rakyatnya melarat ataupun sekara.
“Lalu mengapa pemilu mau ditunda? Apa perlu kita tunda pemilu? Kita lihat bagaimana tirani sumber daya alam telah melakukan destruksi ekologi. Dilubangi 44 persen daratan Indonesia, dipangkas bukit Jayawijaya di Papua sana, digunduli 100 ribu hektare lebih hutan-hutan di nusantara, diambil macam-macam mineralnya, batubaranya, nikelnya, emasnya, uraniumnya, minyaknya, gasnya, kayunya, dan semuanya, jadi bancakan segelintir orang yang serakah yang berkongsi dengan asing dan aseng,” ungkapnya lagi.
“Dan habis manis, sepah pun dibuang. Ditinggalkan begitu saja tanpa pemulihan lingkungan. Menyisakan lubang-lubang asam yang beracun, menyisakan tanah-tanah gundul dan air yang tercemar, dan ditambah dampak perubahan iklim, kerusakannya pun semakin masif. Tirani sekali lagi, tidak peduli ekologi sama sekali, yang penting kepentingan dirinya sendiri,” kata dia.
Menurutnya, di negeri ini masih banyak tirani-tirani lainnya: tirani pendidikan, tirani kesehatan, tirani kebudayaan dan lain sebagainya. “Maka pertanyaan, mengapa pemilu mau ditunda? Jawabannya tidak ada yang akan ditunda,” tegasnya.
Sirkulasi kekuasaan kepada anak bangsa yang punya kapasitas dan kapabilitas menurut dia adalah sebuah keharusan demi lahirnya keadilan-keadilan multidimensional yang sekaligus membasmi tirani-tirani tersebut. Ini demokrasi yang merupakkan cita-cita dan amanah reformasi, yaitu demokrasi konstitusional yang menjami peralihan kekuasaan secara proporsional.
“Maka itu reformasi menjadi sebuah agenda bangsa yang mendesak untuk dilanjutkan, yang justru tidak boleh ditunda,” tegasnya lagi.
(Rob/parade.id)