Jakarta (PARADE.ID)- Perusahaan keamanan siber asal San Fransisco, Lookout, pada Rabu (1 Juli 2020) merilis hasil penelitian yang mengungkap cara pemerintah China memata-matai muslim Uighur di wilayah Xinjiang.
Dilansir dari The New York Times, dalam laporannya Lookout mengatakan sebelum polisi menggantung kamera pengintai, para peretas Tiongkok telah bekerja untuk membangun malware untuk meretas ponsel warga Uighur dan diam-diam menyedot datanya.
Menurut Lookout, upaya itu telah dilakukan sejak 2013 dan berlanjut hingga hari ini.
Disebutkan, Lookout menemukan keterkaitan pada 8 jenis software berbahaya yang menunjukkan bagaimana kelompok yang terhubung dengan pemerintah China meretas ponsel Android yang digunakan oleh sebagian besar penduduk muslim Uighur dalam skala yang jauh lebih besar daripada yag disadari.
Kampanye peretasan adalah landasan awal dalam upaya mengawasi muslim Uihgur yang kemudian akan diperluas untuk mengumpulkan sampel darah, suara, pemindaian wajah dan data pribadi lainnya.
Alat yang dirakit peretas bersembunyi di papan ketik khusus yang digunakan oleh warga Uighur dan menyamar sebagai aplikasi yang biasa digunakan di situs web pihak ketiga.
Beberapa dapat menyalakan ponsel, merekam panggilan atau mengekspor foto, lokasi telepon, dan percakapan pada aplikasi obrolan. Beberapa lainnya ditanam dalam aplikasi berita berbahasa Uighur, kiat kecantikan yang ditargetkan untuk muslim Uighur, teks Al-Quran digital dan lainnya.
“Kemana pun orang Uighur pergi, sejauh apa pun mereka pergi, apakah itu ke Turki, India, atau Suriah, malware mengikuti mereka ke sana,” kata Apurva Kumar, seorang insinyur intelijen keamanan di Lookout.
“Rasanya seperti menonton predator mengintai mangsanya di seluruh dunia,” tambah Kumar.
Sebelumnya, peneliti Google menemukan bahwa peretas telah menginfeksi situs web yang sering dikunjungi warga Uighur -di China dan negara lain– dengan alat yang dapat meretas iPhone mereka dan menyedot datanya.
Temuan terbaru dari Lookout menunjukkan bahwa kampanye peretasan seluler oleh China lebih luas dan agresif daripada yang disadari oleh pakar keamanan, aktivis hak asasi manusia, dan korban spyware. Namun, para ahli pengawasan China mengatakan hal itu seharusnya tidak mengejutkan mengingat Beijing sudah lama diketahui memantau Xinjiang.
“Kita harus berpikir tentang pengawasan ponsel cerdas yang digunakan sebagai cara untuk melacak kehidupan batin orang, perilaku sehari-sehari mereka, kepercayaan mereka,” kata Darren Byler, yang mempelajari pengawasan populasi minoritas di University of Colorado.
Pada 2015, ketika Beijing mendorong untuk menindak kekerasan etnis sporadis di Xinjiang, pihak berwenang menjadi “putus asa” melacak komunikasi orang Uighur yang tumbuh cepat secara online.
“Orang Uighur mulai takut kalau percakapan online mereka yang membahas Islam atau politik berisiko. Sebagian mereka lalu menggunakan ponsel kedua yang dianggap lebih aman,” kata Byler yang tinggal di Xinjiang pada 2015.
Di jalan-jalan Xinjiang, polisi mulai menyita telepon orang Uighur. Terkadang, ponsel itu baru dikembalikan berbulan-bulan kemudian setelah ditanam aplikasi spyware untuk memata-matai pergerakan mereka. Di lain waktu, orang-orang diberikan telepon lain yang berbeda.
Pejabat yang mengunjungi desa-desa di Uighur secara teratur mencatat nomor seri yang digunakan untuk mengidentifikasi ponsel mereka
(Cyberthreat/PARADE.ID)